Jumat, 04 Februari 2011

STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI


Banyak orang menyamakan penggunaan kata prasangka dan diskriminasi. Padahal, secara konseptual, dua kata tersebut memiliki pengertian yang benar-­benar berbeda.

Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya bersifat negatif) ditujukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok, yang didasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok. Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang, maka prasangka yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya, seperti kepribadian, masa lalu, atau karena kebiasaan negatifnya. Prasangka yang berkembang lebih disebabkan oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok tertentu. Peran karakteristik diri dalam memunculkan prasangka dari orang yang menjadi target prasangka dapat dikatakan jauh lebih kecil ketimbang keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Sebagai sebuah sikap, prasangka tidak harus tampil dalam perilaku yang berlebihan (over), tetapi bisa jadi sebagai sebuah kecenderungan psikologis. Jika prasangka tampil dalalm perilaku yang dapat dilihat, maka kita mendefinisikannya sebagai diskriminas. ­

Diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif terhadap orang lain. yang menjadi target prasangka. Merasa tidak nyaman jika duduk di samping target prasangka menunjukkan bahwa seseorang memiliki prasangka. Namun, memutuskan untuk pindah tempat duduk untuk menjauhi target prasangka adalah sebuah diskriminasi.

Dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi adalah stereotip. Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari anggota kelompok tertentu, bisa positif ­atau bisa juga negatif. Walaupun dikatakan bahwa stereotip adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, namun tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki ­stereotip negatif mengenai sebuah kelompok tertentu pasti akan menampilkan prasangka dan diskriminasi.

Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman, 1993) mengembangkan model prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang dapat dikontrol dari respons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang sebuah kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka terdapat aktivasi dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung otomatis menjadi prasangka dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki kontrol untuk meneruskan atau tidak meneruskan belief tadi untuk menjadi prasangka dan diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa untuk menghambat belief, maka akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan sesuatu untuk menghambat berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa belum tentu orang yang dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain kelompoknya, maka prasangka tidak terjadi.

2 komentar: