Selasa, 30 November 2010

MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM BUDAYA ORGANISASI


Di negara-negara maju, organisasi-organisasi yang statis atau hanya sedikit perubahan sudah lama ditinggalkan orang. Organisasi-organisasi sekarang bias survive karena kemampuannya untuk mengatasi perubahan, berkembang melalui proses evolusioner yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan, dan berprestasi karena mengadopsi idea-idea baru yang lebih baik. Singkatnya, efektifitas organisasi sekarang ini, sebagian besar berupa fungsi dari perubahan. Tentu saja, perubahan yang menguntungkan organisasi harus berupa perubahan yang mengintrodusikan idea-idea baik. Sedangkan perubahan serupa inipun dapat memproduksi hasil-hasil yang disfngsional buat organisasi, kalau introduksi perubahan tersebut dikelola secara jelek. Dapat dianalogikan, bawa efek positif dari perubahan yang didisain baik, akan bisa ditingkatkan melalui manajemen efektif dari proses perubahan tersebut.

Meskipun keputusan untuk mengimplementasikan perubahan pada sebua organisasi itu kerapkali dibuat pada level eksekutif tertinggi, oleh komite yang independent, atau bahkan oleh kelompok eksternal (umpamanya oleh sebuah badan pemerintah), tetapi biasanya manajerlah yang bertanggung jawab untuk mengimpelentasikan perubahan. Oleh karena itu, sangat penting buat manajer efektif sekarang, untuk mempelajari manajemen perubahan, tanpa memandang jenis-jenis perubahannya.

Maka manajer harus menyadari, bahwa dalam lingkungan yang berubah cepat, perhatian terhadap perubahan itu menjadi penting. Perubahan yang terjadi jika tidak diantisipasi dengan baik akan dapat mempengaruhi organisasi yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi budaya organisasi. Perubahan tersebut dapat terjadi dalam diri karyawan, pada struktur dan teknologi organisasi. Perubahan ini dipengaruhi oleh kekuatan eksternal (pasar, peraturan pemerintah, teknologi, pasar tenaga kerja, perubahan ekonomi) dan kekuatan internal organisasi (seperti strategi organisasi, munculnya peralatan baru, sikap-sikap karyawan).

Faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen perubahan

a. Coherence

Koherensi dalam manajemen perubahan ialah keterkaitan antar pelanggan, supplier, distributor, dan kolaboratornya. Koherensi meliputi aspek:

1) Konsistensi

2) Kecocokan

3) Keuntungan

4) Kelayakan

5) Kepemimpinan

6) Integritas team senior manajemen

7) Penyatuan dan implemetasi

8) Pengembangan basis pengetahuan yang tepat

9) Keterkaitan interorganisasi

10) Mengelola perubahan yang terkait

b. Environmental Assesment

Environmental Assesment atau penilaian terhadap lingkungan yaitu memahami lingkungan sekitar untuk suatu perubahan. Manajemen perubahan harus memperhatikan hal ini agar dapat menciptakan stretegi yang tepat bagi organisasi. Mengabaikan dalam memahami lingkungan organisasi akan menyebabkan penentangan yang lebih besar dalam proses perubahan.

Environmental Assesment meliputi aspek-aspek kondisi dan mekanisme yang ada. Pengkondisian yang dimaksud ialah: (1) ketersediaan orang-orang kunci, yang akan mengambil keputusan dalam perubahan, (2) karakter internal organisasi, (3) tekanan-tekanan lingkungan yang berpotensi sebagai sumber penentangan perubahan, (4) penilaian lingkungan sebagai kegiatan multifungsi. Selanjutnya dari segi mekanisme perubahan, adalah (1) memperhatikan perencanaan, (2) mengembangkan jaringan dengan stake-holder, (3) menggunakan satuan-satuan tugas khusus (satgas).

c. Leading Change

Leading change atau perubahan utama merupakan tindakan terkait bagi semua orang pada semua level dalam organisasi. Untuk itu perlu adanya pembentukan suasana perubahan yang terarah dan pasti sebelum tindakan perubahan diambil.

Leading change ini meliputi: (1) membangun penerimaan perubahan seperti legitimasi, (2) meniptakan kemampuan perubahan, (3) membentuk pokok dan arahan perubahan, (4) mengoperasionalisasikan agenda perubahan, (5) membentuk masa kritis perubahan di antara manajemen senior, (6) perlunya komunikasi untuk perubahan dan persyaratan rini dari agenda perubahan, (7) perolehan kesuksesan, (8) keseimbangan kelangsungan dan perubahan, (9) pertalian yang bersambung seperti mata rantai.

d. Linking Strategic and Operational Change

Linking Strategic and Operational Change atau strategi penghubung dan perubahan operasional merupakan faktof manajemen perubahan yang disengaja mengkaitkan keduanya agar diperoleh hasil yang baik.

Linking Strategic and Operational Change ini meliputi: (1) penilaian kebutuhan perubahan, (2) membangun kapasitas untuk tindakan yang tepat, (3) menyediakan perlunya visi, nilai, dan arah bisnis, (4) memecahkan strategi untuk tindakan tertentu, (5) penempatan/ pemilihan manajer perubahan, strutkur yang relevan dan target yang tepat, (6) memiiran komunikasi kembali, (7) menggunakan system reward, (8) menyediakan negosioasi local, (9) memodifikasi visi sebelumnya terkaita kontek local, (10) monitoring dan penyesuaian.

e. Human Resource as assets and liabilities

Human Resource as assets and liabilities berkaitan dengan seperangkat pengetahuan, skills, dan sikap yang perlu dimiliki oleh sumber daya manusia di mana perusahaan perlu persaingan. Untuk memperoleh sumber daya manusia yang baik diperlukan proses pembelajaran (learning proess).

Aspek-aspek yang berkaitan dengan sumber daya manusia sebagai asset dan tanggung jawab manajemen, yaitu: (1) menumbuhkan ketepatan sumber daya manusia, (2) menciptakan kekuatan positif untuk perubahan sumber daya manusia, (3) menunjukkan kebutuhan perubahan bisnis dan orang, (4) ad hoc, kumulatif, suportif aktivitas pada berbagai level, (5) tindakan keterkaitan kepada kebutuhan bisnis dengan sumber daya manusia yang berarti tanpa suatu akhir, (6) monitoring pengaruh eksternal, (7) garis devolusi, (8) tindakan konstruksi sumber daya manusia dan institusi di aman menguatkan satu dengan lainnya.

Senin, 29 November 2010

General Concept of Teaching


a. Definition

Teaching requires that it be considered as one part of the larger processes of education and instruction. English teaching involves many teaching variables that require teachers’ ability to manage them to become good contribution in teaching -learning process’ result.

Teaching also involves not only the conduct of instruction; it reflects one’s social philosophy regarding how children should be treated, what the ultimate values of education are, how the results of learning are to be demonstrated, how teachers and children should interact, and a host of similar issues.

According to Green (1978:52) in his book stated:

The activity of teaching, at least in the sense of instructing, as the effort, to reconstitute the structure of our belief systems so that the number of core belief and belief clusters are minimized, the number of evidential beliefs are maximized, and the quasi-logical order of our beliefs is made to correspond as closely as possible to their objective logical order”.

Furthermore, he adds that teaching is an activity aimed at transferring what is reasonable for men to believe, in the object sense of “reasonable to believe”.

Carr discusses the work of Schwab as quoted by Woods and Jeffrey (1995:3) elaborates further about teaching.

“Teaching is a primary a practical rather than a technical activity, involving a constant flow of problematic situations which require teachers to make judgments about how best to transfer their general educational values…..into classroom practice. Interpreted in the language of the practical, teaching quality would have little to do with the skillful application of technical rules but instead would relate to the capacity to bring abstract ethical values to bear on concrete educational practice – a capacity which teachers display in their knowledge of what, educationally, is required in a particular situation and their willingness to act so that this knowledge can take a practical form.”

Webster’s new Twentieth Century Dictionary (1966:1870) defines teaching as the action of a person who teaches.

From the definitions above, the writer concludes that teaching is the action or the activity of teachers to transfer the general educational values into classroom practice.

Good teaching is the application of common-sense principles. For example, when one is interested in something, he is more likely to want to learn than if he is uninterested in it. Consequently, anything the teacher can do to create interest would be beneficial to learning. There is nothing wrong with the application of common sense to teaching.

b. Characteristics of Effective Teachers

Good teaching is a difficult work, requiring a lot of physical and mental energy. When examining all the aspects of good teaching, the teachers should remember that students can bring enjoyment to teaching.

The successful teachers are able to create a situation where children like and respect learning for learning’s sake, and this requires that the teachers have this quality, too. The ability to organize is an important qualification. Without it the teachers would be enabled to navigate successfully through a normal school day, which contains numerous transitions from one activity to another.

The effective teachers instruct students to spend more time working directly on academic tasks in texts, workbooks, and instructional materials. They assign and hold students responsible for more homework and tests students more frequently. Hamachek as quoted by Jarolimek and Foster (1976:3) identify several traits that good teachers posses:

1. They view teaching as basically-first and last- a human process;

2. They feel good about themselves and they have positive view of others. Thus, they identify with people rather than withdrawing from them;

3. They are knowledgeable and well informed on a wide range of subjects;

4. They are able to communicate effectively. They understand that the communication process includes more than presentations.

Every teacher hopes that she/he has to precise in these activities in line with Mercer and Mercer’s suggestions as follows:

a. The teacher initially counts only priority;

b. The teacher identifies strategies to make timing and recording behavior easier;

c. The teacher evaluates the recorded data frequently(preferably daily);

d. Probing or criterion-referenced testing is used;

e. The system remains a tool for teaching rather than a cause (Mercer and Mercer, 1989:78)

Good teachers are, in a sense, ‘Total Teachers’. They seem able to be what they have to be meeting the demands of the moment. They seem able to move with the shifting tides of their own needs, the student’s and do what has to be done to handle the situation.

It has been stated that one of the aspects in teaching-learning process is teacher. So, teachers have an important role in it or the teachers’ influence contributes to succeed the teaching-learning process. The following statement supports the opinion above:

“The teachers’ attitude toward children and education determines to a very real degree how children perceive school, themselves, and each other and how much progress the actually make. Teachers can make learning pleasant or punishing; they can create motivation or fear; they can produce excited anticipation or dread. A teacher’s personal style and approach, more than anything else create the climate and mood which will characterize the classroom.” (Smith, Neisworth and Greer; Mercer and Mercer, 1989:50)

It is apparent that in good teaching the importance of providing the students with success cannot be overemphasized. Lack of success can lead to anxiety, frustration, inappropriate behavior, and poor motivation, attitudes, academic progress, and classroom behavior.

General Concept of Teaching

1. Definition

Teaching requires that it be considered as one part of the larger processes of education and instruction. English teaching involves many teaching variables that require teachers’ ability to manage them to become good contribution in teaching -learning process’ result.

Teaching also involves not only the conduct of instruction; it reflects one’s social philosophy regarding how children should be treated, what the ultimate values of education are, how the results of learning are to be demonstrated, how teachers and children should interact, and a host of similar issues.

According to Green (1978:52) in his book stated:

The activity of teaching, at least in the sense of instructing, as the effort, to reconstitute the structure of our belief systems so that the number of core belief and belief clusters are minimized, the number of evidential beliefs are maximized, and the quasi-logical order of our beliefs is made to correspond as closely as possible to their objective logical order”.

Furthermore, he adds that teaching is an activity aimed at transferring what is reasonable for men to believe, in the object sense of “reasonable to believe”.

Carr discusses the work of Schwab as quoted by Woods and Jeffrey (1995:3) elaborates further about teaching.

“Teaching is a primary a practical rather than a technical activity, involving a constant flow of problematic situations which require teachers to make judgments about how best to transfer their general educational values…..into classroom practice. Interpreted in the language of the practical, teaching quality would have little to do with the skillful application of technical rules but instead would relate to the capacity to bring abstract ethical values to bear on concrete educational practice – a capacity which teachers display in their knowledge of what, educationally, is required in a particular situation and their willingness to act so that this knowledge can take a practical form.”

Webster’s new Twentieth Century Dictionary (1966:1870) defines teaching as the action of a person who teaches.

From the definitions above, the writer concludes that teaching is the action or the activity of teachers to transfer the general educational values into classroom practice.

Good teaching is the application of common-sense principles. For example, when one is interested in something, he is more likely to want to learn than if he is uninterested in it. Consequently, anything the teacher can do to create interest would be beneficial to learning. There is nothing wrong with the application of common sense to teaching.

Characteristics of Effective Teachers

Good teaching is a difficult work, requiring a lot of physical and mental energy. When examining all the aspects of good teaching, the teachers should remember that students can bring enjoyment to teaching.

The successful teachers are able to create a situation where children like and respect learning for learning’s sake, and this requires that the teachers have this quality, too. The ability to organize is an important qualification. Without it the teachers would be enabled to navigate successfully through a normal school day, which contains numerous transitions from one activity to another.

The effective teachers instruct students to spend more time working directly on academic tasks in texts, workbooks, and instructional materials. They assign and hold students responsible for more homework and tests students more frequently. Hamachek as quoted by Jarolimek and Foster (1976:3) identify several traits that good teachers posses:

1. They view teaching as basically-first and last- a human process;

2. They feel good about themselves and they have positive view of others. Thus, they identify with people rather than withdrawing from them;

3. They are knowledgeable and well informed on a wide range of subjects;

4. They are able to communicate effectively. They understand that the communication process includes more than presentations.

Every teacher hopes that she/he has to precise in these activities in line with Mercer and Mercer’s suggestions as follows:

a. The teacher initially counts only priority;

b. The teacher identifies strategies to make timing and recording behavior easier;

c. The teacher evaluates the recorded data frequently(preferably daily);

d. Probing or criterion-referenced testing is used;

e. The system remains a tool for teaching rather than a cause (Mercer and Mercer, 1989:78)

Good teachers are, in a sense, ‘Total Teachers’. They seem able to be what they have to be meeting the demands of the moment. They seem able to move with the shifting tides of their own needs, the student’s and do what has to be done to handle the situation.

It has been stated that one of the aspects in teaching-learning process is teacher. So, teachers have an important role in it or the teachers’ influence contributes to succeed the teaching-learning process. The following statement supports the opinion above:

“The teachers’ attitude toward children and education determines to a very real degree how children perceive school, themselves, and each other and how much progress the actually make. Teachers can make learning pleasant or punishing; they can create motivation or fear; they can produce excited anticipation or dread. A teacher’s personal style and approach, more than anything else create the climate and mood which will characterize the classroom.” (Smith, Neisworth and Greer; Mercer and Mercer, 1989:50)

It is apparent that in good teaching the importance of providing the students with success cannot be overemphasized. Lack of success can lead to anxiety, frustration, inappropriate behavior, and poor motivation, attitudes, academic progress, and classroom behavior.

Banjir Rob di Semarang


Kota Semarang merupakan salah satu kota pesisir di Indonesia. Berdasarkan kondisi eksisting, kota Semarang sangat sering dilanda banjir rob. Hampir setiap hari menjelang malam, genangan air selalu terjadi dibeberapa daerah sebagai akibat dari banjir rob, bahkan sampai saat ini belum ada upaya penanganan yang sesuai untuk permasalahan ini dan beban pembangunan yang merambah wilayah pesisir juga semakin besar sehingga penurunan muka tanah di darat juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya banjir rob (Kodoatie, 2003).

Daerah yang beresiko terhadap banjir rob yaitu wilayah pesisir Kota Semarang yang meliputi enam kecamatan yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari, Semarang Timur, Genuk dengan prediksi dan asumsi kenaikan air laut pada tahun 2050 nanti dan penurunan muka tanah sebesar 2-3 cm tiap tahun (Muhrozi, 2004).

Definisi Banjir Rob

Banjir rob merupakan bencana yang muncul berkaitan dengan siklus gerak bulan. Dengan demikian banjir ini berulang bulanan. Daerah yang terkena bencana ini adalah dataran pantai di daerah pesisir yang rendah atau daerah rawa-rawa pantai. Genangan banjir ini dapat diperkuat dengan banjir karena curah hujan. Jadi, banjir ini dapat terjadi lebih hebat di saat musim hujan (Kodoatie, 2003).

Penyebab Banjir Rob

Beberapa penyebab dari banjir rob di pesisir memang belum dapat dipastikan, namun pada beberapa kondisi terjadinya rob secara umum dapat disebabkan oleh;

1. Pasang-surut air laut dan posisi bulan yang menyebabkan gaya tarik.

2. Land Subsidence yang terjadi sebagai akibat dari beban pemanfaatan lahan yang ada di pesisir dan pengambilan air tanah yang berlebihan.

3. Perubahan pemanfaatan ruang di pesisir sehingga tidak ada daerah yang menjadi barier terjadinya banjir rob.

Tiga hal tersebut secara umum selalu ada didaerah yang rawan terhadap banjir rob sedangakln untuk perluasan daerah genangannya tiga faktor tersebut berbanding lurus yaitu semain tinggi tiga faktor tersebut maka luas genangan rob juga akan semakin besar (Kodoatie,2003).


Resiko Bencana Banjir Rob Akibat Kenaikan Muka Air Laut

Resiko sebagai akibat dari perubahan iklim didefinisikan sebagai kerugian yang mungkin timbul akibat perubahan iklim. Untuk mengetahui zonasi tingkat resiko suatu daerah terhadap bencana banjir rob perlu dilakukan analisis resiko guna mengkaji dan meneliti proses alam yang dapat menjadi sumber ancaman bencana akibat perubahan iklim.

Resiko biasanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Kerawanan adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, dalam hal ini kerawanan akibat naiknya muka air laut adalah banjir rob yang mengancam daerah pesisir. Sedangkan kerentanan adalah kondisi atau karakteristik biologis, geografis, ekonomi, social, politik, an budaya suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan masyarakat untuk mencegah, meredam, dan menanggapi dampak dari kerawanan bencana.Oleh karena itu seiring dengan berjalannya waktu, kerentanan biasanya lebih dinamis sesuai dengan perkembangan penduduk suatu wilayah serta perubahan lingkungan hidupnya (Diposaptono, 2008).

Minggu, 28 November 2010

Konsep Dasar Community College


1. Pengertian Community College

Community College merupakan tempat atau wahana dimana para peserta didik dapat mengikuti diklat kompetensi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja, Dengan kata lain Community College dapat disebut sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan mengandung maksud bahwa semua lemdiklat kejuruan yang selama ini menyelenggarakan diklat kompetensi seperti SMK, BLK, lembaga kursus dan lembaga diklat lain yang ada di Kabupaten/Kota harus sinergi dan terintegrasi dalarn suatu sistem baik dari sisi program maupun sertifikasinya, bahkan laboratorium SMA/MA yang memiliki sarana prasarana dan tenaga ahli cukup baik dan juga industri dapat bergabung membentuk Community College (Indra Djati Sidi, 2002:25).

Sejak tahun 2000 sejumlah SMK yang dipandang siap dan mampu mengembangkan dirinya telah didorong dan ditingkatkan perannya sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan yang selain menyelenggarakan diklat reguler juga mampu menyelenggarakan :

a. Diklat kompetensi jangka pendek (short course)

b. Pelayanan jasa dan produksi

c. Diklat lanjutan terutarna bagi tamatan SLTA

Sekolah Menengah Kejuruan sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan harus memiliki inisiatif melakukan kerjasama kelembagaan dengan SMK lain, lemdiklat kejuruan dan lembaga lain yang terkait sehingga membentuk suatu Community College yang terkoordinir dalam satu sistem dan manajemen untuk menghasilkan tamatan yang kompeten sesuai tuntutan pasar kerja dan kebutuhan masyarakat sekitar.

Tempat diklat Community College dapat diselenggarakan di beberapa kampus sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki oleh masing‑masing lemdiklat (SMA, SMK, Universitas, Politeknik), misalnya keahlian budidaya anggrek di industri kecil anggrek, keahlian komputer di SMA, keahlian sekiretaris di SMK, keahlian otomotif di BLK, keahlian dakwah di MA, dan lain sebagainya. Dengan demikian Lemdiklat yang telah melakukan rintisan menjadl Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan, merupakan lembaga potensial untuk menjadi leading sector dari Community College, dan merupakan aset yang dapat berfungsi sebagai mitra pemda dalam mempersiapkan calon tenaga kerja terampil yang memiliki kecakapan hidup (Indra Djati Sidi, 2002:25).

Penggabungan beberapa lemdiklat (SMK, SMA, MA, BLK, lembaga kursus, industri kecil, Universitas/Politeknik) dalam membentuk Community College perlu dilandasi semangat bersinergi demi memberi layanan kepada masyarakat dalam menurunkan semangat "ingin punya sendiri" yang saat ini terlalu besar. Walaupun sulit, harus berani memulai karena pola itu akan jauh lebih efisien. Pemilihan leading sector perlu dilakukan sedemokratis mungkin, saling percaya, disertai "aturan main" yang jelas demi kebaikan bersama (Depdiknas, 2003:8).

2. Landasan Filosofis, Historis, dan Yuridis

Pendidikan berjalan setiap saat dan di segala tempat. Setiap orang, baik anak‑anak maupun orang dewasa mengalami proses pendidikan melalui apa yang dijumpai atau yang dikerjakan walaupun tidak sengaja diberikan, secara alamiah setiap orang akan terus belajar dari lingkungannya.

Pendidikan sebagal suatu sistem, pada dasamya merupakan sistematika dari proses perolehan pengalaman tersebut di atas. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagal proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta diklat. Pengalaman belajar tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta diklat, sehingga siap digunakan untuk memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya.

Secara historis, pendidikan sudah ada sejak manusia pertama diciptakan. Dari ketika kehidupan masih sederhana seperti belajar bercocok tanam, berburu dan berbagai kehidupan keseharian sehingga ketika kehidupan makin maju dan kompleks, masalah kehidupan dan fenomena alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan. Pendidikan mulai menjadi formal dan bidang keilmuan diterjemahkan menjadi mata pelajaran (mata kuliah) di sekolah. Walaupun demikian sebenarnya tujuan pendidikan tetap sama, yaitu agar peserta didik mampu memecahkan dan mengatasi permasalahan kehidupan yang dihadapi, dengan cara lebih baik dan lebih cepat, karena sudah dijelaskan secara keilmuan. Mata kuliah berfungsi untuk menjelaskan fenomena alam kehidupan sehingga lebih mudah difahami dan lebih mudah dipecahkan problemanya. Dengan kata lain, mata kuliah adalah alat membantu memecahkan dan mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan.

Landasan yuridis penyelenggaraan Community College yang merupakan pendidikan berbasis luas (BBE) dan berorientasi kecakapan hidup mengacu kepada :

a. UU tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalul kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

b. GBHN 1999. Dalam GBHN 1999, ditegaskan bahwa pembangunan pendidikan harus dapat diwujudkan melalui sistem dan iklim pendidikan yang demokratis melatui perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia ( Laporan Komisi Nasional Pendidikan, 2000).

Jadi pada akhimya tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik agar nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya sebagal pribadi yang mandiri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Dengan demikian mata kuliah/mata diklat harus difahami sebagai alat dan bukan sebagai tujuan, artinya sebagai alat untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar pada saatnya siap digunakan untuk bekal hidup dan kehidupan, bekerja untuk mencari nafkah dan bermasyarakat (Depdiknas, 2003:10).

3. Hubungan dengan Dunia Kerja /Masyarakat/ Kehidupan Nyata

Hubungan antara Community College dengan dunia kerja, masyarakat, maupun kehidupan nyata dapat digambarkan sebagai berikut.

Mata Kuliah / Mata Diklat

· Kehidupan nyata

· Dunia kerja

· Masyarakat

Gambar 1 Hubungan antara kehidupan nyata, kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia kerja, Community College dan mata kuliah.

Gambar 1 di atas, menunjukkan skema hubungan antara kebidupan nyata, kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia kerja, Community College, dan mata diklat. Anak panah dengan garis tidak putus‑putus menunjukkan alur pengembangan kurikulum yang meliputi beberapa tahap. Pada tahap awal, dilakukan identifikasi kompetensi (kecakapan hidup) yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja baik di lembaga ekonomi produktif maupun sebagai wirausahawan, kebutuhan kemasyarakatan yang merupakan kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.

Kompetensi (kecakapan hidup) yang telah diidentifikasi, kemudian diidentifikasi aspek pengetahuannya, keterampilan, dan sikap yang mendukung pembentukan /pencapaian kompetensi tersebut. Tahap selanjutnya diklasifikasikan dalam bentuk tema‑tema /pokok bahasan/topik yang dikemas dalam bentuk mata kuliah/mata diklat.

Dari sisi pemberian bekal/kompetensi bagi peserta dikiat ditunjukkan dengan anak panah bergaris tegas, yaitu apa yang dipelajari pada setiap mata kuliah/mata diklat diharapkan dapat membentuk kecakapan hidup (pencapaian kompetensi) pada Community College yang nantinya diperlukan pada saat yang bersangkutan memasuki kehidupan nyata/dunia kerja/ masyarakat. Kompetensi yang dicapai pada mata kuliah/ mata diklat hanyalah kompetensi antara untuk mewujudkan kemampuan nyata yang dibutuhkan yaitu kecakapan hidup untuk memasuki dunia kerja/ memenuhi tuntutan persyaratan profesi yang ada. Sebagai contoh, di daerah pertanian seyogyanya ditawarkan program diklat kompetensi di bidang pertanian. Dalam pembelajaran untuk mata kuliah bahasa inggris yang diajarkan, bukan hanya sekerjar faham bahasanya tetapi mampu menggunakannya dalam berkomunikasi sehari-hari (Depdiknas, 2003:11).

Konsep Dasar Community College

1. Pengertian Community College

Community College merupakan tempat atau wahana dimana para peserta didik dapat mengikuti diklat kompetensi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja, Dengan kata lain Community College dapat disebut sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan mengandung maksud bahwa semua lemdiklat kejuruan yang selama ini menyelenggarakan diklat kompetensi seperti SMK, BLK, lembaga kursus dan lembaga diklat lain yang ada di Kabupaten/Kota harus sinergi dan terintegrasi dalarn suatu sistem baik dari sisi program maupun sertifikasinya, bahkan laboratorium SMA/MA yang memiliki sarana prasarana dan tenaga ahli cukup baik dan juga industri dapat bergabung membentuk Community College (Indra Djati Sidi, 2002:25).

Sejak tahun 2000 sejumlah SMK yang dipandang siap dan mampu mengembangkan dirinya telah didorong dan ditingkatkan perannya sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan yang selain menyelenggarakan diklat reguler juga mampu menyelenggarakan :

a. Diklat kompetensi jangka pendek (short course)

b. Pelayanan jasa dan produksi

c. Diklat lanjutan terutarna bagi tamatan SLTA

Sekolah Menengah Kejuruan sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan harus memiliki inisiatif melakukan kerjasama kelembagaan dengan SMK lain, lemdiklat kejuruan dan lembaga lain yang terkait sehingga membentuk suatu Community College yang terkoordinir dalam satu sistem dan manajemen untuk menghasilkan tamatan yang kompeten sesuai tuntutan pasar kerja dan kebutuhan masyarakat sekitar.

Tempat diklat Community College dapat diselenggarakan di beberapa kampus sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki oleh masing‑masing lemdiklat (SMA, SMK, Universitas, Politeknik), misalnya keahlian budidaya anggrek di industri kecil anggrek, keahlian komputer di SMA, keahlian sekiretaris di SMK, keahlian otomotif di BLK, keahlian dakwah di MA, dan lain sebagainya. Dengan demikian Lemdiklat yang telah melakukan rintisan menjadl Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan, merupakan lembaga potensial untuk menjadi leading sector dari Community College, dan merupakan aset yang dapat berfungsi sebagai mitra pemda dalam mempersiapkan calon tenaga kerja terampil yang memiliki kecakapan hidup (Indra Djati Sidi, 2002:25).

Penggabungan beberapa lemdiklat (SMK, SMA, MA, BLK, lembaga kursus, industri kecil, Universitas/Politeknik) dalam membentuk Community College perlu dilandasi semangat bersinergi demi memberi layanan kepada masyarakat dalam menurunkan semangat "ingin punya sendiri" yang saat ini terlalu besar. Walaupun sulit, harus berani memulai karena pola itu akan jauh lebih efisien. Pemilihan leading sector perlu dilakukan sedemokratis mungkin, saling percaya, disertai "aturan main" yang jelas demi kebaikan bersama (Depdiknas, 2003:8).

2. Landasan Filosofis, Historis, dan Yuridis

Pendidikan berjalan setiap saat dan di segala tempat. Setiap orang, baik anak‑anak maupun orang dewasa mengalami proses pendidikan melalui apa yang dijumpai atau yang dikerjakan walaupun tidak sengaja diberikan, secara alamiah setiap orang akan terus belajar dari lingkungannya.

Pendidikan sebagal suatu sistem, pada dasamya merupakan sistematika dari proses perolehan pengalaman tersebut di atas. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagal proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta diklat. Pengalaman belajar tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta diklat, sehingga siap digunakan untuk memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya.

Secara historis, pendidikan sudah ada sejak manusia pertama diciptakan. Dari ketika kehidupan masih sederhana seperti belajar bercocok tanam, berburu dan berbagai kehidupan keseharian sehingga ketika kehidupan makin maju dan kompleks, masalah kehidupan dan fenomena alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan. Pendidikan mulai menjadi formal dan bidang keilmuan diterjemahkan menjadi mata pelajaran (mata kuliah) di sekolah. Walaupun demikian sebenarnya tujuan pendidikan tetap sama, yaitu agar peserta didik mampu memecahkan dan mengatasi permasalahan kehidupan yang dihadapi, dengan cara lebih baik dan lebih cepat, karena sudah dijelaskan secara keilmuan. Mata kuliah berfungsi untuk menjelaskan fenomena alam kehidupan sehingga lebih mudah difahami dan lebih mudah dipecahkan problemanya. Dengan kata lain, mata kuliah adalah alat membantu memecahkan dan mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan.

Landasan yuridis penyelenggaraan Community College yang merupakan pendidikan berbasis luas (BBE) dan berorientasi kecakapan hidup mengacu kepada :

a. UU tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalul kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

b. GBHN 1999. Dalam GBHN 1999, ditegaskan bahwa pembangunan pendidikan harus dapat diwujudkan melalui sistem dan iklim pendidikan yang demokratis melatui perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia ( Laporan Komisi Nasional Pendidikan, 2000).

Jadi pada akhimya tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik agar nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya sebagal pribadi yang mandiri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Dengan demikian mata kuliah/mata diklat harus difahami sebagai alat dan bukan sebagai tujuan, artinya sebagai alat untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar pada saatnya siap digunakan untuk bekal hidup dan kehidupan, bekerja untuk mencari nafkah dan bermasyarakat (Depdiknas, 2003:10).

3. Hubungan dengan Dunia Kerja /Masyarakat/ Kehidupan Nyata

Hubungan antara Community College dengan dunia kerja, masyarakat, maupun kehidupan nyata dapat digambarkan sebagai berikut.

Mata Kuliah / Mata Diklat

· Kehidupan nyata

· Dunia kerja

· Masyarakat


Gambar 1 Hubungan antara kehidupan nyata, kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia kerja, Community College dan mata kuliah.

Gambar 1 di atas, menunjukkan skema hubungan antara kebidupan nyata, kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia kerja, Community College, dan mata diklat. Anak panah dengan garis tidak putus‑putus menunjukkan alur pengembangan kurikulum yang meliputi beberapa tahap. Pada tahap awal, dilakukan identifikasi kompetensi (kecakapan hidup) yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja baik di lembaga ekonomi produktif maupun sebagai wirausahawan, kebutuhan kemasyarakatan yang merupakan kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.

Kompetensi (kecakapan hidup) yang telah diidentifikasi, kemudian diidentifikasi aspek pengetahuannya, keterampilan, dan sikap yang mendukung pembentukan /pencapaian kompetensi tersebut. Tahap selanjutnya diklasifikasikan dalam bentuk tema‑tema /pokok bahasan/topik yang dikemas dalam bentuk mata kuliah/mata diklat.

Dari sisi pemberian bekal/kompetensi bagi peserta dikiat ditunjukkan dengan anak panah bergaris tegas, yaitu apa yang dipelajari pada setiap mata kuliah/mata diklat diharapkan dapat membentuk kecakapan hidup (pencapaian kompetensi) pada Community College yang nantinya diperlukan pada saat yang bersangkutan memasuki kehidupan nyata/dunia kerja/ masyarakat. Kompetensi yang dicapai pada mata kuliah/ mata diklat hanyalah kompetensi antara untuk mewujudkan kemampuan nyata yang dibutuhkan yaitu kecakapan hidup untuk memasuki dunia kerja/ memenuhi tuntutan persyaratan profesi yang ada. Sebagai contoh, di daerah pertanian seyogyanya ditawarkan program diklat kompetensi di bidang pertanian. Dalam pembelajaran untuk mata kuliah bahasa inggris yang diajarkan, bukan hanya sekerjar faham bahasanya tetapi mampu menggunakannya dalam berkomunikasi sehari-hari (Depdiknas, 2003:11).

Pola Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)


a. Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education)

Di samping kecakapan hidup (life skill) umum, perlu dikembangkan pula kemampua ‘belajar bagaimana cara belajar’ (learning hor to learn) dengan harapan dapat digunakan untuk belajar sendiri, jika seseorang ingin mengembangkan diri di kemudian hari. Perkembangan iptek yang cepat membuat pengetahuan yang saat ini dianggap mutakhir, seringkali sudah mejadi usang setelah peserta didik lulus. Dengan modal learning how to learn dan general lie skill yang dimiliki mereka dapat mempelajari pengetahuan baru.

Pemahaman itulah yang mendasari konsep pendidikan berbasis luas, yaitu bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa sebagai bentuk syukur terhadap anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat secara luas dengan menekankan pada penguasaan kecakapan hidup (life skill) generic sebagai pondasi pengembangan diri lebih lanjut. Dengan demikian konsep pendidikan berbasi luas berlaku di seluruh jenjang pendidikan, khususnya di jalur pendidikan persekolahan.

b. Community College

Secara umum dijelaskan oleh Vincent E Costa, dkk (2000:97) sekolah masyarakat merupakan konsep bentuk pendidikan yang memberikan kesempatan belajar kepada warga masyarakat dan mendukung berbagai kegiatan pengembangan masyarakat yang tidak hanya untuk pembangunan selanjutnya, tetapi juga membuat sekolah menjadi bagian dari masyarakat. Sekolah masyarakat inilah yang kemudian lebih dikenal dengan Community College.

Community College merupakan tempat atau wadah dimana para peserta didik dapat mengikuti diklat kompetensi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Dengan kata lain Community College dapat disebut sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan Terpadu (PPKT). Terpadu mengandung makna bahwa semua lembaga pendidikan & pelatihan (lemdiklat) kejuruan yang selama ini menyelenggarakan diklat kompetensi seperti SMK, BLK, lembaga kursus dan lembaga Diklat lain yang ada di kabupaten/kota harus sinergi dan terintegrasi dalam satu system baik dari sisi program maupun sertifikasinya. Bahkan laboratorium SMU/MA yang memiliki sarana dan tenaga ahli cukup baik dan juga industri dapat bergabung membentuk Community College (Indra Djati Sidi, 2002:25).

Pola Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)

a. Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education)

Di samping kecakapan hidup (life skill) umum, perlu dikembangkan pula kemampua ‘belajar bagaimana cara belajar’ (learning hor to learn) dengan harapan dapat digunakan untuk belajar sendiri, jika seseorang ingin mengembangkan diri di kemudian hari. Perkembangan iptek yang cepat membuat pengetahuan yang saat ini dianggap mutakhir, seringkali sudah mejadi usang setelah peserta didik lulus. Dengan modal learning how to learn dan general lie skill yang dimiliki mereka dapat mempelajari pengetahuan baru.

Pemahaman itulah yang mendasari konsep pendidikan berbasis luas, yaitu bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa sebagai bentuk syukur terhadap anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat secara luas dengan menekankan pada penguasaan kecakapan hidup (life skill) generic sebagai pondasi pengembangan diri lebih lanjut. Dengan demikian konsep pendidikan berbasi luas berlaku di seluruh jenjang pendidikan, khususnya di jalur pendidikan persekolahan.

b. Community College

Secara umum dijelaskan oleh Vincent E Costa, dkk (2000:97) sekolah masyarakat merupakan konsep bentuk pendidikan yang memberikan kesempatan belajar kepada warga masyarakat dan mendukung berbagai kegiatan pengembangan masyarakat yang tidak hanya untuk pembangunan selanjutnya, tetapi juga membuat sekolah menjadi bagian dari masyarakat. Sekolah masyarakat inilah yang kemudian lebih dikenal dengan Community College.

Community College merupakan tempat atau wadah dimana para peserta didik dapat mengikuti diklat kompetensi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Dengan kata lain Community College dapat disebut sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan Terpadu (PPKT). Terpadu mengandung makna bahwa semua lembaga pendidikan & pelatihan (lemdiklat) kejuruan yang selama ini menyelenggarakan diklat kompetensi seperti SMK, BLK, lembaga kursus dan lembaga Diklat lain yang ada di kabupaten/kota harus sinergi dan terintegrasi dalam satu system baik dari sisi program maupun sertifikasinya. Bahkan laboratorium SMU/MA yang memiliki sarana dan tenaga ahli cukup baik dan juga industri dapat bergabung membentuk Community College (Indra Djati Sidi, 2002:25).

Konsep Dasar Kecakapan Hidup (Life Skill)


Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Indra Djati Sidi, 2002:11).
Pengertian kecakapan hidup, lebih luas dari keterampilan untuk bekerja atau tenaga kerja terampil. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pension, tetap memerlukan kecakapan hidup (life skill). Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan kejuruan memerlukan kecakapan hidup dalam arti yang luas.
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi empat jenis, yaitu
a. Kecakapan personal (personal skill) yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skil);
Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan sebagai makhluk Tuhan, anggota masyarakat, dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berpikir rasional mencakup: (1) kecakapan menggali dan menemukan informasi, (2) kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan, serta (3) kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
b. Kecakapan sosial (social skill)
Kecakapan sosial atau kecakapan antarpersonal mencakaup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati, dan kecakapan bekerja sama.
Dua kecakapan hidup yang di atas disebut sebagai kecakapan hidup (life skill) yang bersifat umum atau generic. Kecakapan hidup (life skill) tersebut diperlukan oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, yang tidak bekerja, dan yang sedang menempuh pendidikan.
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” diperlukan kecakapan khusus tentang mesin mobil. Untuk memecahkan masalah dagangan yang tidak laku, tentu diperlukan kecakapan pemasaran. Untuk mampu melakukan pengembangan biologi molekuler tentu diperlukan keahlian di bidang bio-teknologi.
Kecakapan hidup (life skill) yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai komptensi teknis yang terkait dengan materi pelajaran atau mata-diklat tertentu dan pendekatan pembelajarannya. Kecakapan hidup (life skill) khusus ini mencakup kecakapan pengembangan akademik dan kecakapan vokasional yang terkait dengan pekerjaan tertentu.
c. Kecakapan akademik (academic skill)
Kecakapan akademik yang seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berfikir rasional pada kecakapan hidup (life skill) yang bersifat umum. Jika kecakapan berpikir rasional masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik/ keilmuan. Kecakapan akademik mencakup antara lain: kecakapan melakukan identifikasi variable dan menjelaskan hubungannya apda suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan.
d. Kecakapan vokasional (vocasional skill)
Kecakapan vokasional atau kecakapan kejuruan, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.
Perlu disadari, antara general life skill dan specific life skill yaitu antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, dan kecakapan akademik serta kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah atau tidak terpisah secara ekslusif. Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas (Indra Djati Sidi, 2002:15).