Rabu, 25 Agustus 2010

Perencanaan Sarana dan Prasarana Pendidikan



Sarana prasarana pendidikan dapat mempertinggi proses belajar peserta didik dalam pendidikan yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Dalam proses belajar mengajar terdapat empat komponen utama yaitu tujuan bahan, metode dan alat serta penilaian. Tabrani (1989:29) menjelaskan bahwa metode dan alat yang digunakan dalam proses belajar mengajar dipilih atas dasar tujuan dan bahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sarana prasarana pendidikan sebagai alat dalam proses belajar mengajar dianggap berpengaruh terhadap hasil atau prestasi belajar peserta didik.

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi dan penghapusan serta penataan.

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan yang baik diharapkan menciptakan sekolah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi instruktor maupun peserta didik untuk berada di sekolah. Di samping itu juga diharapkan tersedianya alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pendidikan oleh instruktor sebagai pengajar maupun peserta didik sebagai pelajar (E. Mulyasa, 2002).

Sekolah yang akan melaksanakan manajemen sarana prasarana pendidikan perlu memahami konsep dasar manajemen dan melaksankana beberapa langkah pokok dalam manajemen pendidikan.

Langkah – langkah manajemen sarana prasarana pendidikan tersebut meliputi hal – hal sebagai berikut.

1. Melakukan identifikasi kebutuhan sarana prasana pendidikan

Langkah awal yang perlu dilakukan sekolah dalam menerapkan konsep manajemen sarana prasarana pendidikan ini adalah melakukan evaluasi diri sendiri. Dengan melakukan evaluasi diri sendiri, sekolah akan melahirkan gambaran nyata kebutuhan sarana prasana pendidikan.

Pada umumnya, kebutuhan sarana prasana pendidikan dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi dari sarana prasana pendidikan.

2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasana pendidikan

Fungsi yang dimaksud misalnya, fungsi proses belajar mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kepeserta didikan, fungsi pengembangan iklim akademik, fungsi hubungan sekolah – masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.

3. Melakukan Analisis SWOT

Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, and threat) dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasana pendidikan yang telah ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal.

Tingkat kesiapan harus memadai, artinya minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk memnuhi kebutuhan sarana prasana pendidikan, yang dinyatakan sebagai: (1) kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal, (2) peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: (1) kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal, dan (2) ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.

4. Alternatif langkah pemecahan persoalan

Langkah pemecahan persoalan yaitu tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan atau ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Langkah pemecahan persoalan hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu /lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/ atau peluang.

5. Menyusun rencana peningkatan mutu sarana prasana pendidikan

Setelah target sarana prasana pendidikan ditetapkan, maka sekolah harus menyusun rencana peningkatan mutu sarana prasana pendidikan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Rencana ini harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang : aspek – aspek mutu sarana prasana pendidikan yang ingin dicapai, kegiatan – kegiatan yang harus ditempuh, siapa yang harus melaksanakn, kapan, dan dimana dilaksanakna, serta berapa biaya yang diperlukan untuk sarana prasana pendidikan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah dan orangtua peserta didik baik secara moral maupun fisik untuk melakankana rencana peningkatan mutu sarana prasana pendidikan tersebut.

Yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam menyusun rencana program ini adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi Stakeholder pendidikan, khususnya orang tua dan masyarakat ( komite sekolah) pada umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan pemerintah untuk menanggung program ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orang tua dan masyarakat sekitar. Dengan keterbukaan manajemen ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh sumber dana untuk melakspeserta didikan program ini bisa dihindari.

6. Melakspankana rencana peningkatan mutu sarana prasana pendidikan

Dalam melaksankana rencana program peningkatan mutu sarana prasana pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah, orangtua, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan target – target yang ditetapkan.

Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program – program kegiatan yang diproyeksikan dapat membebaskan diri dari keterikatan – keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat pengadaan sarana prasana pendidikan.

7. Melakukan evaluasi pelaksanaan

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir tahun untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada satu tahun dinilai adanya faktor – faktor yang tidak mendukung, maka sekolah karus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu sarana prasana pendidikan pada tahun berikutnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kelebihan dan kelemahan manajemen sarana prasana pendidikan untuk diperbaiki tahun – tahun berikutnya.

Dalam melakukan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat di dalam program peningkatan sarana prasana pendidikan, khususnya guru dan staf agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan. Demikian pula, orangtua dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program yang telah dilakukan. Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orangtua dan masyarakat menilai suatu program gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggapnya cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa saja yang perlu diterapkan sebelum penilaian diterapkan.

8. Merumuskan target mutu sarana prasana pendidikan baru

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil penelitian berguna untuk dijadikan alat untuk memperbaiki kinerja program pada saat yang akan datang. Bila dianggap berhasil, target mutu sarana prasana pendidikan dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumber daya yang tersedia. Bilamana tidak, bisa saja target mutu sarana prasana pendidikan tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan program. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa target mutu sarana prasana pendidikan diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumber daya pendidikan (tenaga dan dana ) yang tersedia.

MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

A. Pengertian

Manajemen menurut Nanang Fattah (2001:1), dapat diartikan sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan organisasi dengan segala aspeknya, agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.

Manajemen yang baik ditandai dengan adanya efisiensi, efektifitas, pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada, dan diarahkan pada produktifitas yang tinggi dengan kualitas yang tinggi pula, (H.A.R. Tillar, 1999:75).

Manajemen pendidikan nasional dapat diartikan sebagai suatu proses yang direkayasa untuk mencapai tujuan sistem pendidikan nasional yang efektif dan efisien dengan mengikutsertakan partisipasi seluruh masyarakat. Sistem manajemen pendidikan nasional kita masih jauh dari sempurna, bukan hanya karena didalamnya terlihat berbagai departemen tetapi juga karena manajemen pendidikan nasional kita masih terlalu sentralistik, yang mengakibatkan ruang gerak untuk inovasi sangat terbatas.

Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara khusus langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan sarana pendidikan. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pendidikan, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pendidikan biologi, halaman sekolah sekaligus sebagai lapangan olahraga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan (E Mulyasa, 2002).

Ahmad Rohani (1997:2) mengemukakan beberapa pengertian tentang sarana pendidikan atau media instruksional edukatif, yang dikumpulkan dari para ahli, yaitu : (a) media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang penyebar ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima; (b) media adalah channel (saluran) karena pada hakikatnya media telah memperluas atau memperpanjang kemampuan manusia untuk merasakan, mendengar dan melihat dalam batas-batas jarak, ruang, dan waktu tertentu. Dengan bantun media, batas-batas itu hampir menjadi tidak ada; (c) media adalah medium yang digunakan untuk membawa /menyampaikan sesuatu pesan, di mana medium ini merupakan jalan atau alat dengan suatu pesan berjalan antara komunikator dengan komunikan; (d) media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi, (e) media adalah segala benda yang dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca, atau dibicarakan beserta instrument yang digunakan untuk kegiatan tersebut, (f) media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang merangsang yang sesuai untuk belajar, misalnya: media cetak, media elektronik (film, video); (g) media dalam arti sempit berwujud grafik, foto, alat mekanik dan elektronik yang digunakan untuk menangkap, memproses serta menyampaikan informasi, dalam arti luas media yaitu kegiatan yang dapat menciptakan suatu kondisi, sehingga memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baru.

Adapun sarana prasarana pendidikan adalah alat bantu mengajar (Nana Sudjana, 1991:1). Ahmad Rohani (1997:3) mengemukakan beberapa pengertian sarana prasarana pendidikan atau media instruksional edukatif sebagai berikut: (a) segala jenis sarana prasarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan instruksional, yang mencakup media grafis, media yang menggunakan alat penampil, peta, model, globe, dan sebagainya; (b) peralatan fisik untuk menyampaikan isi instruksional, termasuk buku, film, video, tape, slide, instruktor, dan perilaku nonverbal, yang mencakup perangkat lunak (software) dan/ atau perangkat keras (hardware) yang berfungsi sebagai alat belajar/ alat bantu belajar; (c) media yang digunakan dan diintegrasikan dengan tujuan dan isi instruksional yang biasanya sudah dituangkan dalam GBPP dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar; (d) sarana prasarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara, dengan menggunakan alat penampil dalam proses belajar mengajar untuk mempertinggi efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan instruksional, meliputi kaset, audio, slide, film-strip, OHP, film, radio, televisi, dan sebagainya .

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulan bahwa sarana pendidikan adalah sarana dan prasarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai proses dan hasil pendidikan secara efektif dan efisien, serta tujuan pendidikan dapat dicapai dengan mudah. Dan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pendidikan

B. Lingkup Sarana dan Prasarana Pendidikan

Mayke Sugianto (1995:56) membagi jenis-jenis sarana prasarana pendidikan dalam dua kelompok besar yaitu sarana prasarana pendidikan dari lingkungan anak dan sarana prasarana pendidikan edukatif.

1. Sarana prasarana pendidikan berupa Lingkungan pendidikan

Sarana prasarana pendidikan yang berupa lingkungan pendidikan adalah prasarana pendidikan berupa fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pendidikan biologi, halaman sekolah sekaligus sebagai lapangan olahraga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan

Sarana prasarana pendidikan berupa lingkungan pendidikan bersifat permanen dan dirancang lebih dulu dengan biaya yang sangat besar.

2. Sarana prasarana pendidikan Edukatif

Sarana prasarana pendidikan edukatif adalah sarana prasarana pendidikan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan pembelajaran. Sarana prasarana pendidikan edukatif biasa disebut dengan alat peraga maupun media pendidikan. Beberapa contoh sarana prasarana pendidikan edukatif yaitu: alat peraga matematika, alat peraga geografi, alat peraga biologi dan fisika, peralatan bengkel kerja, dan sebagainya.

Moeslichatoen (1999:50) menyebutkan jenis-jenis sarana pendidikan berdasarkan fungsinya sebagai berikut.

1. Sarana pendidikan bagi pengembangan dimensi perkembangan motorik. Peralatan ini diperlukan untuk melatih gerakan otot kasar misalnya alat peraga pendidikan olahraga.

2. Sarana pendidikan bagi pengembangan kognitif, dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan mengenal, mengingat, berpikir konvergen, memberi penilaian. Sarana pendidikan yang dibutuhkan misalnya: alat peraga biologi, kimia, dan fisika.

3. Sarana pendidikan bagi pengembangan kreativitas. Peralatan ini dibutuhkan untuk meningkatkan kelenturan, kepekaan, penggunaan daya imajinatif, kesediaan mengambil risiko dan menjadikan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman. Sarana pendidikan ini antara lain besi ulir, plat baja, motor, mobil, dan bahan yang dapat digerakkan di bengkel.

4. Sarana pendidikan bagi pengembangan bahasa. Peralatan ini digunakan untuk menguasai bahasa reseptif, menguasai bahasa ekspresif, berkomunikasi secara verbal dengan orang lain. Sarana prasarana pendidikan ini antara lain laboratorium bahasa, perpustakaan.

5. Sarana pendidikan bagi pengembangan sosial. Peralatan ini untuk membina hubungan dengan orang lain dan belajar bertingkah laku yang dapat diterima dan sesuai dengan harapan anak lain. Sarana prasarana pendidikan ini misalnya: buku cerita, buku bergambar (komik), teka-teki, telepon, dan sebagainya.

6. Sarana pendidikan bagi pengembangan emosi. Sarana prasarana pendidikan ini antara lain adalah: teater, peralatan musik, buku-buku cerita.

C. Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan

Pedoman penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan sarana prasarana pendidikan adalah pemahaman akan fungsi dan peranan sarana prasarana pendidikan maupun sumber belajar yang menunjang semua aspek kompetensi dasar peserta didik Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa setiap sarana prasarana pendidikan biasanya dapat sekaligus dimanfaatkan untuk mengembangkan beberapa aspek kompetensi dasar peserta didik Untuk masing-masing aspek kompetensi dasar terdapat standar sarana prasarana pendidikan dan daftar kegiatan yang dilaksanakan dengan meningkatkan derajat kesulitan secara bertahap.

Dalam usaha membantu pemilihan sarana pendidikan , Zulkifli (2001:43) menjelaskan tentang standar sarana pendidikan yang baik sebagai berikut.

1. Mudah Dibongkar Pasang/ mudah dirakit

Sarana prasarana pendidikan yang mudah dibongkar pasang dapat diperbaiki sendiri, dapat dipindah-pindah, dan disimpan.

2. Mengembangkan Kompetensi Dasar

Sarana prasarana pendidikan yang sifatnya mudah dibentuk dan diubah-ubah sangat sesuai untuk mengembangkan kompetensi dasar, yang memberikan kepada peserta didik kesempatan untuk mencoba dan melatih kreativitasnya.

3. Tidak Berbahaya

Para ahli telah meneliti jenis sarana prasarana pendidikan sependapat tentang sarana prasarana pendidikan yang sering mendatangkan bahaya bagi peserta didik, yaitu api las, circle, instalasi listrik arus kuat.

Dalam usaha pengadaan sarana prasarana pendidikan diutarakan kriterianya yang dikemukakan oleh Gordon dan Browne (dalam Moeslichatoen, 1999:57) yaitu: (a) fasilitas dan bahan untuk sarana prasarana pendidikan yang mengundang perhatian peserta didik yakni fasilitas dengan desain standard dan bahan-bahan yang dapat memuaskan kebutuhan, menarik minat, dan menyentuh perasaan peserta didik, (b) fasiltias dan bahan sarana prasarana pendidikan yang multiguna yang dapat memenuhi bermacam tujuan pengembangan seluruh aspek perkembangan peserta didik (c) fasiltias dan bahan yang dapat memperluas kesempatan peserta didik untuk menggunakannya dengan dengan nyaman dan bermacam cara.

Dalam memilih bahan dan peralatan sarana pendidikan, Thelma Harms (dalam Moeslichatoen, 1999:58) mengemukakan kriteria sebagai berikut, yaitu: (a) memilih bahan yang mencerminkan karakteristik tingkat kelas kelompok peserta didik (b) memilih bahan harus sesuai dengan kurikulum yang dianut, (c) memilih bahan yang mencerminkan kualitas rancangan dan keterampilan kerja, (d) memilih bahan dan peralatan yang tahan lama, (e) memilih bahan yang dapat dipergunakan secara fleksibel dan serba guna, (f) memilih bahan yang mencerminkan peningkatan budaya kelompok, (g) memilih bahan yang tidak membedakan jenis kelamin dan tidak meniru-niru.

Dapat disimpulkan bahwa kriteria pemilihan sarana prasarana pendidikan mempertimbangkan bahan yang sesuai dengan bahan, kondisi peserta didik keperluan, dan fungsi yang diinginkan

Sabtu, 21 Agustus 2010

Sikap Sosial

2.2.1 Sikap Sosial pada Masa Remaja
Remaja dengan konsep dirinya, menilai diri sendiri dan menilai lingkungannya terutama lingkungan sosial. Misalnya remaja menyadari adanya sifat dan sikap sendiri yang baik dan yang buruk. Dengan kesadaran itu pula remaja menilai sifat dan sikap teman-teman sepergaulannya, yang kemudian diperbandingkan dengan sikap dan sifat yang dimilikinya. Dalam masa remaja awal, seringkali remaja menilai dirinya tidak selaras dengan keadaan yang sesungguhnya. Maksudnya, remaja awal sering memiliki citra diri yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari yang semestinya. Umumnya remaja puteri seringkali menilai diri lebih tinggi dan remaja pria menilai diri lebih rendah (Andi Mappiare, 1982:68).
Terhadap situasi-situasi sosial dan moral, remaja awal mengadakan hubungan atau ikut serta dalam proses yang bekerja di dalamnya. Di dalam proses itu remaja dituntut mengadaptasikan diri, mengembangkan diri. Adaptasi dan pengembangan diri itu menyebabkan remaja lebih banyak mengubah diri dibanding mengubah lingkungannya yang demikian luas (Andi Mappiare, 1982:69).
Kebutuhan untuk bisa diterima di dalam kelompok merupakan kebutuhan yang besar pada masa ini. Supaya anak tidak ditolak oleh kelompoknya, maka anak selalu berusaha untuk mengikuti standar yang ditetapkan oleh anggota-anggota kelompok, misalnya dalam berpakaian, potongan rambut, bertingkah laku dan sebagainya. Bilamana terjadi pertentangan antara orang tua dengan kelompoknya, maka pada umumnya anak lebih cenderung untuk menentang orang tua dan mengikuti kelompoknya (Wayan, 2001:72). Melalui kegiatan-kegiatan kelompok, anak mulai belajar hidup bermasyarakat antara lain: (a) belajar bertukar pendapat dengan orang lain, (b) bekerja sama dengan orang lain, (c) menerima tanggung jawab, (d) membela teman jika diperlakukan tidak adil, (e) menerima kekalahan secara sportif, (f) dan lain-lainnya (Soesilo Windradini dalam Wayan, 2001:72).
Perkembangan sosial remaja awal ditandai dengan gejala untuk melepaskan diri dari pengaruh orang tua, dan usaha untuk semakin mendekatkan diri dengan teman-teman sebayanya. Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam kelompok-kelompok baik kelompok kecil maupun kelompok besar. Dalam menentukan kelompok yang diikuti dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kesamaan hobi, latar belakang sosial ekonomi, dan moral. Dari segi jenis kelamin, para remaja awal cenderung lebih menyukai kelompok yang heterogen (Wayan, 2001:91).
Baik di dalam kelompok kecil maupun di dalam kelompok besar, masalah yang umum dihadapi para remaja awal adalah masalah penyesuaian diri. Remaja awal yang berhasil menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompoknya akan menjadi orang yang diterima /disenangi oleh kelompoknya. Sebaliknya remaja yang tidak atau kurang bisa menyesuaikan diri dengan kelompoknya akan menjadi anak yang ditolak/ tidak disenangi oleh kelompoknya.
Soesilo Windradini dan Sunarti (dalam Wayan, 2001:91) selanjutnya menjelaskan bahwa anak yang diterima oleh kelompoknya akan merasa bahagia, mempunyai rasa percaya diri dan akan mencoba mengembangkan kepribadiannya untuk dapat menambah kepopulerannya di kemudian hari. Sebaliknya anak yang tidak diterima oleh kelompoknya akan merasa tidak bahagia dan membenci anak yang tidak mau menerimanya. Dia cenderung mencari kepuasan dengan cara lain misalnya melamun. Juga ada kecenderungan untuk berkumpul dengan teman-teman sebaya yang sama-sama ditolak oleh kelompoknya lalu membentuk sebuah “geng”. Walaupun tidak semua geng anak remaja terdiri atas anak-anak yang cenderung nakal, akan tetapi kebanyakan geng bertingkah laku anti sosial, seperti pembalasan dendam, serta gangguan keamanan bagi remaja lain atau masyarakat pada umumnya.
Kartini Kartono (1995:148) menyebut remaja awal dengan anak puber, yaitu periode puber, pra-pubertas, atau awal pubertas pada rentang usia antara 12-14 tahun. Kontak sosial anak puber dengan kawan-kawannya sifatnya masih primitif dan masih longgar. Relasi anak puber dengan sahabat-sahabat ataupun dengan salah seorang kawan karibnya pada umumnya sifatnya monogam dan homoseksual (teman sejenis kelamin). Relasi tersebut bersifat eksklusif dan unsur kesetiaan dijunjung tinggi. Khususnya anak-anak menghargai rasa loyal dan solider terhadap penderitaan dan misteri-misteri rahasia pribadi.
Pada masa ini relasi (hubungan sosial) di antara anak-anak gadis dengan pemuda-pemuda cilik sifatnya masih non-seksual. Anak-anak laki-laki dan anak perempuan yang berkumpul bersama-sama pada usia ini lebih banyak didorong oleh faktor rasa ingin tahu dan bukan oleh masalah-masalah sosial. Aktivitas mereka bersifat netral. Bahkan ada kalanya bersifat “ofensif” yaitu saling mengganggu, saling berolok-olok, bahkan kadang-kadang juga melakukan perkelahian. Kejadian sedemikian ini disebabkan oleh timbulnya: (a) dorongan merealisasikan diri, (b) dorongan mempertahankan aku-nya, ditambah dengan (c) keinginan menjadi dewasa, dan (d) hasrat berprestasi (Kartini Kartono,1995:158).
Kontak sosial anak-anak pra-pubertas yang masih primitive dan longgar itu didominasi oleh keinginan untuk melebihi anak lain, dan dikuasai oleh ideal untuk berkuasa. Sehingga kawan-kawannya sedikit atau banyak dianggap sebagai saingan atau rival. Oleh karena itu ikatan sosial anak puber ini masih dangkal dan labil sifatnya.
Kelompok-kelompok anak puber itu masih terbatas dalam bentuk kelompok kerja atau bende-bende (gang-gang), di mana unsur ikatan organisatoris masih lemah sekali dan lebih berlandaskan pada ikatan emosional. Sehubungan dengan ini, kelompok anak-anak puber bisa menjelma menjadi gerombolan tanpa kendali, yang membuat jalanan dan lapangan tidak aman dengan perbuatan-perbuatan jahat dan sadistis. Karena mereka sering ngibul, berlagak, dan melebih-lebihkan kemampuan sendiri, juga biasanya aktivitas bersama-sama mereka itu sering ekstrim, yaitu banyak menjurus pada perbuatan criminal, kegiatan kebut-kebutan di jalan sehingga membahayakan jiwa diri sendiri dan orang lain serta sering melakukan perbuatan teror (Kartini Kartono, 1995:159).
Andi Mappiare (1982:91) menjelaskan bahwa perkembagan sosial saling berhubungan dengan perkembangan pribadi dan moral remaja akhir. Pandangan remaja terhadap masyarakat, banyak dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya pribadi, citra diri, dan rasa percaya diri. Remaja yang memiliki penilaian diri kurang dan hal itu tidak diterimanya, maka remaja akhir ini sering memproyeksikan penolakan diri itu pada keadaan atua tatanan masyarakatnya. Timbullah kemudian kritikan-kritikan remaja terhadap tatanan dan adanya kepincangan-kepincangan sosial yang terjadi. Dalam pada itu moral dan pertimbangan-pertimbangan etis ikut memegang peranan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap sosial pada masa remaja diwujudkan dalam belajar bertukar pendapat dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, menerima tanggung jawab, membela teman jika diperlakukan tidak adil, menerima kekalahan secara sportif, dan lain-lainnya.


2.2.2 Anak sebagai Makhluk Sosial
Anak merupakan pribadi-sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, ingin diakui dan dihargai. Berkeinginan pula untuk dihitung dan mendapatkan tempat dalam kelompoknya. Hanya dalam komunikasi dan relasi dengan orang lain (dengan guru, pendidik, pengasuh, orang tua, anggota keluarga, kawan sebaya, kelompoknya, dan lain-lain) dia bisa berkembang menuju pada kedewasaan.
Oleh karena anak hidup dalam lingkungan sosial tertentu, ia dideterminir secara sosial. Karena itu, anak bisa dipengaruhi oleh orang lain, dan bisa dididik. Anak tidak mungkin bisa berkembang dengan sendirinya tanpa bantuan dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu setiap tingkah laku anak merupakan tingkah laku sosial, sebab mempunyai relasi/ kaitan dengan orang lain (Kartini Kartono,1995:43).
Di sekolah, anak tidak hanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga sikap-sikap, nilai-nilai dan norma. Sebagian besar sikap dan nilai itu dipelajari secara informal melalui situasi formal di kelas dan di sekolah, misalnya melalui contoh pribadi guru, isi cerita buku-buku bacaan, kelompok bermain, dan lain-lain (Ahmadi, 1999:183)
Belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya merupakan suatu usaha untuk membangkitkan rasa sosial atau usaha memperoleh nilai-nilai sosial. Sehubungan dengan usaha ke arah itu, sekolah hendaknya secara eksplisit menanamkan paham rasa atau sikap sosial yang demokratis. Dalam hal ini guru memegang peranan untuk memahami kehidupan sosial di kalangan anak asuhannya, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat luas. Dengan mempergunakan, misalnya, teknik sosiometri, guru dapat mengetahui hubungan sosial di kalangan anak-anaknya. Berdasarkan pengetahuan itu, guru akan dapat membantu anak-anak yang mempunyai kesulitan dalam pergaulan dengan teman sebaya (Zulkifli, 2001:61).

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial
Sikap sosial secara umum merupakan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, saling kebergantungan dengan manusia yang lain dalam berbagai kehidupan bermasyarakat. Sikap sosial juga merupakan interaksi di kalangan manusia yang menimbulkan perasaan sosial yaitu perasaan yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan hidup bermasyarakat seperti saling tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan antipati, rasa setia kawan, dan sebagainya (Zulkifli, 2001:45). Sikap sosial inilah yang menumbuhkan interaksi sosial di antara manusia dalam pergaulan sosial sehari-hari.
Proses interaksi sosial mula dari bayi di dalam keluarga, masa kanak-kanak dan pra sekolah lengkap dengan kelompok permainannya, masa sekolah hingga masa lengkap dengan faktor-faktor sosio cultural yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak, secara prinsipil adalah kebutuhan dan kepribadian sehingga menumbuhkan sikap sosial.
Kelangsungan interaksi sosial , sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, merupakan proses yang kompleks, yang terdapat beberapa faktor yang mendasarinya, baik secara tunggal maupun gabungan. Bonner dalam Gerungan (1996:58) dan Bimo Walgito (1994:66) menyebutkan faktor-faktor interaksi sosial yaitu sebagai berikut.
Faktor Imitasi
Imitasi berarti peniruan (Abu Ahmadi, 1991:4). Gabriel Tarde dalam Gerungan (1996:58) beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi. Bimo Walgito (1994:67) berpendapat bahwa terhadap pendapat Tarde ini sukarlah orang dapat menerima seluruhnya. Memang faktor imitasi mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat atau dalam interaksi sosial, namun demikian imitasi bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang mendasari interaksi sosial. Imitasi tidaklah berlangsung dengan sendirinya, sehingga individu yang satu akan dengan sendirinya mengimitasi individu yang lain, demikian sebaliknya.
Sebelum orang mengimitasi suatu hal, terlebih dahulu haruslah terpenuhi beberapa syarat, yaitu: (1) minat perhatian yang cukup besar akan hal tersebut, (2) sikap menjunjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang diimitasi, dan berikutnya dapat pula suatu syarat lainnya, (3) dapat juga orang-orang mengimitasi suatu pandangan atau tingkah laku, karena hal itu mempunyai penghargaan sosial yang tinggi. Jadi seseorang mungkin mengimitasi sesuatu karena ingin memperoleh penghargaan sosial di dalam lingkungannya (Gerungan, 1996:60).
Faktor Sugesti
Sugesti artinya memberi pengaruh, yaitu suatu proses di mana seorang individu meneima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik lebih dulu (Abu Ahmadi, 1991:44). Bimo Walgito (1994:67) berpendapat, dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan. Karena itu sugesti dapat dibedakan: (1) auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri sendiri, sugesti yang datang dari dalam diri individu yang bersangkutan, dan (2) hetero-sugesti, yaitu sugesti yang datang dari orang lain.
Gerungan (1996:60) berpendapat bahwa sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama. Bedanya ialah, bahwa imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu di luar dirinya, pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Sugesti berperan dalam pembentukan norma-norma kelompok, prasangka-prasangka sosial, norma susila, norma politik, dan lain-lain. Dalam psikologi sosial, sugesti berari suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.
Terdapat beberapa keadaan serta syarat-syarat yang memudahkan sugesti terjadi yaitu: (1) sugesti karena hambatan berpikir, (2) sugesti karena keadaan pikiran terpecah-pecah, (3) sugesti karena otoritas atau prestise, (4) sugesti karena mayoritas, (5) sugesti karena “will to belive” yaitu keinginan untuk meyakini dirinya (Gerungan, 1996:61).
Faktor Identifikasi
Idetifikasi yaitu keinginan untuk menyamakan atau menyesuaikan diri terhadap sesuatu yang dianggap mempunyai keistimewaan (Abu Ahmadi, 1991:44). Bimo Walgito (1994:72) berpendapat bahwa identifikasi adalah dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. Dalam mempelajari norma sosial, anak dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu (1) mempelajari dan menerima norma sosial karena orang tua sengaja mendidiknya, (2) kesadaran akan norma sosial dengan jalan identifikasi, yaitu anak mengidentifikasikan diri pada orang tua.
Gerungan (1996:68) menjelaskan bahwa identifikasi pertama-tama berlangsung secara tidak sadar (tidak dengan sendirinya), keduanya secara irasional, berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan ketiganya identifikasi mempunyai manfaat untuk melengkapi sistem norma, cita-cita, dan pedoman tingkah laku orang yang mengidentifikasi. Nyata bahwa saling hubungan sosial yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi.
Faktor Simpati
Abu Ahmadi (1991:44) menjelaskan arti simpati dengan seperasaan yaitu tertariknya orang satu terhadap orang lain. Simpati ini ini timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan.
Bimo Walgito (1994:73) menjelaskan bahwa simpati merupakan perasaan rasa tertarik kepada orang lain. oleh karena simpati merupakan perasaan, maka simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan atas dasar perasaan atau emosi. Dalam simpati orang merasa tertarik kepada orang lain yang seakan-akan berlangsung dengan sendirinya, apa sebabnya merasa tertarik sering tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Di samping individu mempunyai kecenderungan tertarik pada orang lain, individu juga mempunyai kecenderungan untuk menolak orang lain, yang disebut antipati.
Gerungan (1996:69) mendefinsikan bahwa simpati sebagai perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan perasaan, seperti juga pada proses identifikasi. Timbulnya simpati merupakan proses yang sadar bagi manusia yang merasa simpati terhadap orang lain. Simpati menghubungkan orang yang satu dengan orang yang lain, sebaliknya perasaan antipati cenderung untuk menghambat atau meniadakan sama sekali pergaulan antarorang. Perasaan simpati cukup nyata dalam hubungan persahabatan antara dua orang atau lebih. Hubungan cinta kasih antara manusia itu bisanya didahului pula oleh hubungan simpati yang terus menerus.

Sabtu, 07 Agustus 2010

General Concepts of Picture


General Concepts of Picture



Picture is one of the visual. aids that can he used in teaching writing. It makes something clearer. It also can be used to create situation for writing classes more clearly. One kind is that which tells a simple and obvious story.



1. Picture As Visual Aid
Harmer (1983:3) explains that pictures are clearly indispensable for the language teacher since they can be used in so many ways. We can teach vocabulary easily through pictures (we mean blackboard drawing, wall pictures, chart, and flash charts). Referring to this statement, Cahyono (1997:114) adds that there are two kinds of pictures, illustrations and original pictures. Illustration may be in the form of stick figures and drawings, and original pictures may be in form of photographs. In the case of the former the teachers should make the pictures on the blackboard or paper or cardboard. In the case of the latter, the teachers could directly use ready made pictures by cutting them out.
A picture play not only be worth a thousand words but it may also be worth a thousand year or a thousand miles Gerlach and Ely (1980: 273-308) Through pictures, learners can be shown people, places, and things from areas outside of their own experiences. Pictures can also represent images from ancient times or portray the future. They also assert about pictures which are called "Opaque still pictures", viz. a two dimensional visual representation of persons, places or things. Photographic prints are most common but sketches, cartoons, murals, cut outs, charts, graphs, and naps widely used. Pictures may be used for individual study, for display on bulletin boards and felt boards, in exhibits and projection when group of students need to look at the same time.
Based on practicality and economic reasons in using them, I produce and prepare some materials as the substitutes for the real things. The aids are used as the representation of things, which will be presented. The teacher may produce or prepare.

2. The General Criteria For The Use Of Picture
According to Kreidier (1965:4) there are two kinds of pictures or picture charts. Both kinds have definite uses in the language classroom. One type depicts a situation or topic and includes several people and actions: a birthday party, a beach scene, a picnic, a sports event. This context-oriented type of picture usually depicts one action, one person, or one object. It might be called a structure-oriented picture.
a. Charts
It is often desirable to place several pictures Or drawings on a single chart. Such a chart can be useful in providing a number of cues for fast-paced practice in substitution drills and other exercises on particular grammatical points. Neither the chart nor any picture containing several objects and actions, such as a context-oriented picture, should include so many items that the students cannot identify what the teacher is referring to.
When in use, charts should be displayed in the front of the room in full view of the entire class. The teacher should stand to the side of the students. A pointer may also help in this respect. Even when an individual student is reciting, it is important for all of the class to be able to see the chart. Students not reciting should be encouraged to form the pattern. Silently and check their silent responses with the oral response of the individual reciting. Otherwise, a great deal of valuable drill time will be wasted.
There are two ways in which a chart may add variety to drill after the items on the chart are familiar to the students : (1) The teacher may point to the items on the chart in random order, and (2) the teacher may change the pace of drill by varying the speed with he or she points to the items.
b. Individual Pictures
Individual pictures drawn or mounted on cards should be large enough for the class to see but small enough for the teacher to manipulate easily. A card about seven inches by ten inches seems to work well in most classrooms, provided the drawings or pictures are clear and simple.
If the purpose of individual is to provide cues for rapid drill of a sentence pattern, the cards will be flashed rapidly. The meaning of the picture should be written near the top of the back of the card. The stack of the cards should be held about six inches in front of the chest, so that the teacher can see the students in the class, as well as read the .meaning on the back of the stack to the front, she/he always knows what the next picture is before the students see it

3. Contribution of Picture in Teaching Writing
Kreidler (1965: 41) stales that the ultimate aim of writing is to give the students the opportunity to express their own ideas facilely, using the language pattern they have learned. He also says that the students need this kind of opportunity in order to begin to use English in a way that enables them to express their ideas, interests, feeling and reeds clearly, correctly and confidently. This is undoubtedly their goal in studying English and it is the teacher's role to help them reach it.
For early stage, pictures that have been used for pattern practice, for instance, picture of people, places, and action such as read the newspaper, cross the street, etc, could be set up in the chalk tray of the blackboard or on a display board, such as flannel board, in other to remind students of daily activities or evening plans. The students can be asked to write or tell a story, using what appears in those pictures. This will give the students an opportunity to write in a connected way, using some pattern they have learned. This is a small early step in the direction of free expression of ideas.
A series of pictures can be used as cues for retelling of a story. This kind of composition exercise will begin with the teacher telling the story, simply and Slowly, perhaps two or three times, relating it to the pictures and explaining anything in the pictures which may be new to the students. Afterwards, the students will re-create the story, with the pictures and perhaps a few words written on the blackboard to help them as well.
Pictures with more details, several objects, several people performing different actions, all relating to the same general theme are also useful devices for stimulating composition.

4. Applying Pictures In Teaching Writing
Wright as quoted by Jarwanto (1999: 20) states that writing would often occur in conjunction with their activities. Wright states the board functions of visual material used for writing activities are:
a. to motivate the students
b. to create a meaningful context
c. to provide the students with information to refer to including objects, actions, event relationships
d. to provide non-verbal cues for manipulation practice
e. to provide non-verbal prompts to written composition

5. Advantages In Using Pictures
Because pictures are one recognized way of presenting a real situation, they can serve as an example of the advantages in using pictures, Kreidler, (1965:1).
Pictures are often used to remind us of a real life-experience or to suggest such an experience to us. Families have photograph albums to remind themselves of happy times in the past. Food advertisements in magazines can make us hungry because we can imagine how good that food would taste, especially if it is a food familiar to us. Story books for children have attractive illustration and often before a child can read, he tells or "reads" the story by looking at the illustration.
Picture in the classroom can represent situation, which would be impossible to create in any other way. Many actions can be demonstrated in a classroom, such as closing a door, opening a window, or meeting a friend. Many objects can be brought into the classroom: toys, foods, tools. and clocks. The classroom, however, is really quite limited. Catching a bus, crossing a street, going to the movie, riding a bicycle, walking in the park would be quite difficult situation to create, but they are comparatively, easy to picture.
The cultural advantage that pictures offer is tremendous. Just as it is easier to give someone an olive or an orange to taste, rather than to try to explain its taste, it is easier to show someone a picture of supermarket than to try to explain one in words.
In addition, pictures can help the students associate what they hear with their real life experience. Often students who are good mimics repeat what they are asked to say without understanding what they are repeating. Often, too, a strange word provides a stumbling block to a drill because the students do not-understand it. It may be possible to translate that word, and this might be desirable. Often, thought, this is not possible and the teacher tries to explain the meaning of the words. Since it is not always possible to explain in a few words, valuable class time may be lost. Also, after the explanation is completed, some of the students still may not understand the words. How much easier and more time saving it would be to use a picture that gives reality to explanation.
Another important advantage that pictures offer the teacher is in helping him/her change situation rapidly in oral drill. Since the students' goal in learning a new language is to use that language for communication a variety of situations, it is essential that a number of different situations be presented to the students in classroom drill. An easy way to bring these situations to the classroom and at the same time be assured that the students understand the situations is to use pictures. Because practice for control of the various features of language that must be mastered is most effective when it is fast moving, varied and related to a situation, the teacher must carefully plan his drills. One of the problems that focuses the language teacher who provides these drills is that of creating and maintaining interest on the part of the students. (S) He must plan and organize drills in such a way that the students will receive the necessary practice on a particular point without becoming bored. To ensure this practice most teachers use oral drills in which a word cue is given to elicit a response from the students. Welcome variety can be brought into the class by letting a simple picture provide the cue for a drill, or by using both a word-cue and a picture-cue.
In addition to the varied uses of pictures in the actual practice of language, picture to decorate the classroom should not be overlooked. Pictures of scene which help to explain the cultural setting of the new language can stimulate the interest of the students, as well as help to make the classroom a more cheerful place for their work

General Concepts of Picture

General Concepts of Picture



Picture is one of the visual. aids that can he used in teaching writing. It makes something clearer. It also can be used to create situation for writing classes more clearly. One kind is that which tells a simple and obvious story.
1. Picture As Visual Aid
Harmer (1983:3) explains that pictures are clearly indispensable for the language teacher since they can be used in so many ways. We can teach vocabulary easily through pictures (we mean blackboard drawing, wall pictures, chart, and flash charts). Referring to this statement, Cahyono (1997:114) adds that there are two kinds of pictures, illustrations and original pictures. Illustration may be in the form of stick figures and drawings, and original pictures may be in form of photographs. In the case of the former the teachers should make the pictures on the blackboard or paper or cardboard. In the case of the latter, the teachers could directly use ready made pictures by cutting them out.
A picture play not only be worth a thousand words but it may also be worth a thousand year or a thousand miles Gerlach and Ely (1980: 273-308) Through pictures, learners can be shown people, places, and things from areas outside of their own experiences. Pictures can also represent images from ancient times or portray the future. They also assert about pictures which are called "Opaque still pictures", viz. a two dimensional visual representation of persons, places or things. Photographic prints are most common but sketches, cartoons, murals, cut outs, charts, graphs, and naps widely used. Pictures may be used for individual study, for display on bulletin boards and felt boards, in exhibits and projection when group of students need to look at the same time.
Based on practicality and economic reasons in using them, I produce and prepare some materials as the substitutes for the real things. The aids are used as the representation of things, which will be presented. The teacher may produce or prepare.

2. The General Criteria For The Use Of Picture
According to Kreidier (1965:4) there are two kinds of pictures or picture charts. Both kinds have definite uses in the language classroom. One type depicts a situation or topic and includes several people and actions: a birthday party, a beach scene, a picnic, a sports event. This context-oriented type of picture usually depicts one action, one person, or one object. It might be called a structure-oriented picture.
a. Charts
It is often desirable to place several pictures Or drawings on a single chart. Such a chart can be useful in providing a number of cues for fast-paced practice in substitution drills and other exercises on particular grammatical points. Neither the chart nor any picture containing several objects and actions, such as a context-oriented picture, should include so many items that the students cannot identify what the teacher is referring to.
When in use, charts should be displayed in the front of the room in full view of the entire class. The teacher should stand to the side of the students. A pointer may also help in this respect. Even when an individual student is reciting, it is important for all of the class to be able to see the chart. Students not reciting should be encouraged to form the pattern. Silently and check their silent responses with the oral response of the individual reciting. Otherwise, a great deal of valuable drill time will be wasted.
There are two ways in which a chart may add variety to drill after the items on the chart are familiar to the students : (1) The teacher may point to the items on the chart in random order, and (2) the teacher may change the pace of drill by varying the speed with he or she points to the items.
b. Individual Pictures
Individual pictures drawn or mounted on cards should be large enough for the class to see but small enough for the teacher to manipulate easily. A card about seven inches by ten inches seems to work well in most classrooms, provided the drawings or pictures are clear and simple.
If the purpose of individual is to provide cues for rapid drill of a sentence pattern, the cards will be flashed rapidly. The meaning of the picture should be written near the top of the back of the card. The stack of the cards should be held about six inches in front of the chest, so that the teacher can see the students in the class, as well as read the .meaning on the back of the stack to the front, she/he always knows what the next picture is before the students see it
3. Contribution of Picture in Teaching Writing
Kreidler (1965: 41) stales that the ultimate aim of writing is to give the students the opportunity to express their own ideas facilely, using the language pattern they have learned. He also says that the students need this kind of opportunity in order to begin to use English in a way that enables them to express their ideas, interests, feeling and reeds clearly, correctly and confidently. This is undoubtedly their goal in studying English and it is the teacher's role to help them reach it.
For early stage, pictures that have been used for pattern practice, for instance, picture of people, places, and action such as read the newspaper, cross the street, etc, could be set up in the chalk tray of the blackboard or on a display board, such as flannel board, in other to remind students of daily activities or evening plans. The students can be asked to write or tell a story, using what appears in those pictures. This will give the students an opportunity to write in a connected way, using some pattern they have learned. This is a small early step in the direction of free expression of ideas.
A series of pictures can be used as cues for retelling of a story. This kind of composition exercise will begin with the teacher telling the story, simply and Slowly, perhaps two or three times, relating it to the pictures and explaining anything in the pictures which may be new to the students. Afterwards, the students will re-create the story, with the pictures and perhaps a few words written on the blackboard to help them as well.
Pictures with more details, several objects, several people performing different actions, all relating to the same general theme are also useful devices for stimulating composition.
4. Applying Pictures In Teaching Writing
Wright as quoted by Jarwanto (1999: 20) states that writing would often occur in conjunction with their activities. Wright states the board functions of visual material used for writing activities are:
a. to motivate the students
b. to create a meaningful context
c. to provide the students with information to refer to including objects, actions, event relationships
d. to provide non-verbal cues for manipulation practice
e. to provide non-verbal prompts to written composition
5. Advantages In Using Pictures
Because pictures are one recognized way of presenting a real situation, they can serve as an example of the advantages in using pictures, Kreidler, (1965:1).
Pictures are often used to remind us of a real life-experience or to suggest such an experience to us. Families have photograph albums to remind themselves of happy times in the past. Food advertisements in magazines can make us hungry because we can imagine how good that food would taste, especially if it is a food familiar to us. Story books for children have attractive illustration and often before a child can read, he tells or "reads" the story by looking at the illustration.
Picture in the classroom can represent situation, which would be impossible to create in any other way. Many actions can be demonstrated in a classroom, such as closing a door, opening a window, or meeting a friend. Many objects can be brought into the classroom: toys, foods, tools. and clocks. The classroom, however, is really quite limited. Catching a bus, crossing a street, going to the movie, riding a bicycle, walking in the park would be quite difficult situation to create, but they are comparatively, easy to picture.
The cultural advantage that pictures offer is tremendous. Just as it is easier to give someone an olive or an orange to taste, rather than to try to explain its taste, it is easier to show someone a picture of supermarket than to try to explain one in words.
In addition, pictures can help the students associate what they hear with their real life experience. Often students who are good mimics repeat what they are asked to say without understanding what they are repeating. Often, too, a strange word provides a stumbling block to a drill because the students do not-understand it. It may be possible to translate that word, and this might be desirable. Often, thought, this is not possible and the teacher tries to explain the meaning of the words. Since it is not always possible to explain in a few words, valuable class time may be lost. Also, after the explanation is completed, some of the students still may not understand the words. How much easier and more time saving it would be to use a picture that gives reality to explanation.
Another important advantage that pictures offer the teacher is in helping him/her change situation rapidly in oral drill. Since the students' goal in learning a new language is to use that language for communication a variety of situations, it is essential that a number of different situations be presented to the students in classroom drill. An easy way to bring these situations to the classroom and at the same time be assured that the students understand the situations is to use pictures. Because practice for control of the various features of language that must be mastered is most effective when it is fast moving, varied and related to a situation, the teacher must carefully plan his drills. One of the problems that focuses the language teacher who provides these drills is that of creating and maintaining interest on the part of the students. (S) He must plan and organize drills in such a way that the students will receive the necessary practice on a particular point without becoming bored. To ensure this practice most teachers use oral drills in which a word cue is given to elicit a response from the students. Welcome variety can be brought into the class by letting a simple picture provide the cue for a drill, or by using both a word-cue and a picture-cue.
In addition to the varied uses of pictures in the actual practice of language, picture to decorate the classroom should not be overlooked. Pictures of scene which help to explain the cultural setting of the new language can stimulate the interest of the students, as well as help to make the classroom a more cheerful place for their work

Teaching Vocabulary by using of English Comic




A. Concept of Vocabulary
Whenever we think of language learning, we usually think of mastery of vocabulary. It is due to the fact that vocabulary supports the speakers in communication to express their ideas.
Cameron ( 2001:94) says that a major resource for language used has been vocabulary. In language terms, the development of words, the meaning and the links between them will be covered under the term vocabulary.
The writer can find a statement that use certain technique in teaching become important. The main factor effecting this success is the proper method to the certain subject.

B. Definition of Vocabulary
Vocabulary is one of the language components which should be mastered by English learners, vocabulary has role, which parallels with grammar to help the learners mastering for language skills. Vocabulary development is also about learning more about those words, finding words inside them, and learning even more about those words.
Hornby (1995 : 1331) defines vocabulary as “a total number of words in a language which words known to a person or used in a particular book, subject, etc”. Whereas Hallyday (1982 : 1255) says that vocabulary is a list of collection words use in language science book and etc.
According to Longman, vocabulary is words knows, learnt, etc. (Longman Dictionary, 1992 : 1467) it means the stock of words which are known, learnt, used by people to communicate. Finocchiaro that is quoted by Jack Richard (1979 : 182), mentioned that vocabulary is content and function words of a language that are learned so through that they used in performance of any communicative. From the statements above the writer concludes that vocabulary is a list a content words that is used to express the idea or in the other meaning it is used of general communication.
So, vocabulary is the one important thing besides many factors in learning English. Without mastering vocabulary, it is impossible to master English well. The more students get the vocabulary it makes easier for students to increase their English.

C. Teaching Vocabulary
Teaching English as a foreign language for Indonesia is not an easy thing to apply. The teacher are demanded to be successful. An affective teaching is the basic factor for the success of teaching learning process to prepare an affective teaching.

D. Teaching Vocabulary by using of English comic.
Teaching vocabulary by using of English comic here means that the students identify and study words from the context on the comic reading.
Story from comic offers a whole imaginary world, created by language that students can learn and enjoy. Story from comic is designed to entertain, so the teacher choose and use world with particular care to keep the students and the other space for growth in vocabulary and language development. The teacher has to identify the language use in language that already met.

E. The Principles of Teaching Vocabulary
In teaching vocabulary, the teacher has the job of managing the students meaning to do the target vocabulary. According to Wallace (1998:27-30), there are principles on teaching vocabulary are based :
1. Aims
The aims have to be clear for the teacher, it means that in the process of teaching learning, the teacher has the clear aims or goal, the teacher should teach everything on giving vocabulary.

2. Quantity
The teacher has to decide the quantity of vocabulary, which is learned. Decide the quantity of new vocabulary, which in teaching learning process is very important. And to decide it depends on the students’ condition. The teacher should limit the number of word or phrase that will be taught to h\the students. Therefore, in teaching vocabulary using reading an English comic, not all words to be learn by the students.

3. Need
The students are put in a situation where they have to communicate and get the words they need, as he need them, using the teacher as information, the teacher is as the information of the students need about the vocabulary learn.

4. Meaningful Presentation
The teacher shows the target words with the clear meaning and does not make double meaning or the teacher should give a clear understanding about the words phrases give to the students by using reading an English comic in teaching vocabulary.
Teacher who teach vocabulary, however, still have responsibility to make their teaching successful.

5. Situation Presentation
In teaching vocabulary, the teacher has to explain clearly to the students on how to know meaning of words in content words; it is based on the many aspects.

Kamis, 05 Agustus 2010

Konformitas



Konformitas


Pengertian Konformitas
Konformitas adalah salah satu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya (peer group) terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku tertentu pada anggota kelompok tersebut (Zebua dan Nurdjayadi, 2001).
Conformity (konformitas) adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain (Cialdini & Goldstein, 2004). Kebanyakan remaja dianggap bebas memilih sendiri baju dan gaya rambutnya. Akan tetapi, orang sering lebih suka mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka, dan karenanya mengikuti tren busana terbaru (Taylor, et.all., 2009).

Kultur dan Konformitas
Pengalaman konformitas sehari-hari dibentuk oleh konteks kultur (Kim & Markus, 1999). Kultur individualis seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat lebih menekankan pada kebebasan dan kemandirian personal. Anak diajari untuk mandiri dan tegas; anak diberi banyak kebebasan dan didorong untuk kreatif. Dalam konteks kultural ini, aspek negatif dari konformitas cenderung ditekankan. Tekanan konformitas dari kelompok dianggap mengancam keunikan individu.konformitas dianggap akan menghilangkan otonomi dan kontrol personal. Sebaliknya, dalam kultur kolektivis, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, makna konformitasnyaberbeda. Kultur kolektivis menekankan pentingnya ikatan dengan kelompok sosial. Orang tua sangat memperhatikan kepatuhan, perilaku yang tepat, dan penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992). Dalam konteks kultural ini, aspek positif dari konformitas lebih ditekankan. Konformiotas dianggap bukan sebagai respons terhadap desakan sosial, tetapi sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral. Kata Korea untuk konformitas megandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim & Markus, 1999). Dari perspektif kolektivis, keinginan akan independensi dianggap tidak dewasa dan mementingkan diri sendiri. Kesediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan penting bagi kerukunan kelompok.

Riset lintas cultural menunjukkan konformitas yang lebih besar kepada norma kelompok dalam kultur kolektivis ketimbang kultur individualis (Bond & Smith, 1996) dalam studi awal, Berry (1967) menggunakan tugas penilaian Asch untuk membandingkan konformitas di tiga kelompok cultural. Partisipan dari Skotlandia dan dari orang Eskimo di Kepulauan Baffin mewakili kultur individualis yang menghargai tradisi dan konformitas, mewakili kultur kolektivis. Semua partisipan memiliki penglihatan normal. Seperti yang diduga, jelas ada perbedaan cultural. Respons Eskimo menunjukkan konformitas paling rendah (rata-rata kurang dari 3 dalam 15 percobaan), kemudian diikuti oleh Skotlandia (rata-rata sekitar 4). Konformitas terbesar ditunjukkan oleh responden Temne (dengan rata-rata sampai 9 dari 15 percobaan). Meta-analisis terhdap 133 studi konformitas lintas cultural (Bond & Smith, 1996) mengonfirmasikan pola ini, yakni ada lebih banyak konformitas di kalangan masyarakat kolektivis ketimbang individualis. Meta–analisis ini juga menunjukkan bahwa nilai-nilai cultural memberi pengaruh lebih besar terhadap konformitas ketimbang faktor lain, seperti ukuran kelompok atau ambiguitas stimulus.

Dalam studi yang lebih baru, periset meneliti apakah kultur Amerika dan Jepang memberi kesempatan yang berbeda bagi individu untuk menyesuaikan diri atau untuk bertindak secara independen (Morling, Kitayama, & Miyamoto, 2002). Mahasiswa dari AS dan Jepang mendeskripsikan pengalaman personal di mana mereka menyesuaikan diri dengan suatu situasi. Misalnya, mahasiswa Jepang Menulis, “Saat saya belanja bersama kawan, dan dia mengatakan suatu produk tampak keren, saya menyetujui pendapat mereka memengaruhi atau mengubah situasi sesuai keinginannya. Seorang mahasiswa Amerika menulis, “Saya berbicara dengan saudara perempuan saya tentang kencan dengan lelaki yang saya tahu orangnya brengsek.” Mahasiswa di kedua Negara itu mengalami kedua tipe situasi, namun frekuensinya berbeda. Mahasiswa Jepang mengingat ada lebih banyak situasi penyesuaian ketimbang situasi independen; mahasiswa Amerika menunjukkan pola sebaliknya.
Kim dan Markus (1999) menunjukkan sikap cultural yang berbeda terhadap konformitas dan keunikan antara kultur Amerika dan Asia. Dalam sebuah studi, partisipan mengevaluasi satu set figur abstrak. Di setiap set, sebagian figure itu muncul beberapa kali dan ada satu figur yang unik. Dibandingkan dengan partisipan Asia dan Amerika, orang Eropa Amerika menunjukkan lebih menyukai figure yang unik itu. Dalam studi lain, ditawari hadiah pena gratis asal mau mengisi kuesioner ringkas. Mahasiswa dipersilahkan memilih sendiri pena dari sederetan pena dimana kebanyakan pena itu warnanya sama dan hanya sedikit yang berbeda warnanya. Sekali lagi orang Eropa Amerika lebih suka pada pena yang unik. Terakhir, analisis isi iklan dari majalah Korea dan Amerika juga menegaskan adanya perbedaan cultural ini. Iklan Amerika lebih menekankan pada kebebasan, pilihan bebas, keunikan, perlawanan terhadap tradisi. Iklan Korea lebih menekankan pada tradisi dan harmoni dengan norma kelompok.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa ada konsistensi antara nilai-nilai cultural yang dipelajari orang saat mereka masih dalam tahap tumbuh kembang dan yang mereka lihat di media masa, dan preferensi dan perilaku yang mereka tunjukkan pada tahap dewasa. Dalam menginterprestasikan temuan ini, perlu diingat bahwa konformitas memiliki makna yang berbeda dalam kultur yang berbeda. Kim dan Markus (1999) membandingkan pengalaman seorang Amerika saat memesan kopi di kafe di Seoul. Orang Amerika lebih suka memesan kopi sesuai dengan apa yang diinginkannya – cappucino tanpa kafein dan susu tanpa lemak. Di AS, “selera terbaik adalah selera individual, dan orang mesti tahu apa citarasa yang paling cocok dengan dirinya”. Sebaliknya, orang Korea mungkin mempertimbangkan pilihan dan pandangan orang lain, atau dia mungkin berusaha agar tidak menyinggung si pelayan. “Di Korea, selera terbalik bagi individu adalah selera normal, reguler, dan tradisional, dan suatu cita rasa yang brbeda dengan cita rasa yang “tepat” akan dianggap sebagai selera yang buruk.”

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Seseroang cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi ketimbang situasi lain (Cialdini & Trost, 1998). Ukuran kelompok, keseragaman atau kekompakan opini kelompok, dan komitmen kita kepada kelompok dapat memengaruhi konformitas. Selain itu, ada perbedaan individual dalam keinginan akan individual yang juga dapat memengaruhi apakah kita akan menyukai diri atau membangkang.

1) Ukuran Kelompok.
Konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok meningkat – setidaknya sampai titik tertentu. Misalnya anda berada dalam suatu ruangan yang membuat anda merasa dingin. Jika ada satu orang lain diruangan itu yang mengeluh bahwa ruangan itu berhawa panas, Anda mungkin menyimpulkan bahwa orang itu salah atau sedang kena demam. Tetapi apabila ada lima orang lain yang mengatakan bahwa ruangan itu terasa panas, maka Anada mungkin mulai bertanya-tanya, apakah diri Anda yang salah. Lima orang cenderung lebih bisa dipercaya ketimbang satu orang; adalah lebih sulit untuk tidak mempercayai suatu kelompok ketimbang satu orang.
Dalam beberapa eksperimen, Asch (1955) memvariasikan ukuran mayoritas dari 2 sampai 15. Dia menemukan bahwa orang akan menghasilkan lebih banyak tekanan ke arah konformitas ketimbang 1 orang dan 3 orang tekanannya lebih besar ketimbang 2, sedangkan 4 orang memberi tekanan yang hampir sama dengan 3 orang. Yang mengejutkan, peningkatan jumlah kelompok setelah 4 orang secara substansial tidak meningkatkan besaran konformitas.

2) Keseragaman Kelompok.
Seseorang yang berhadapan denganmayoritas yang kompak akan cenderung untuk ikut menyesuaikan diri dengan mayoritas itu. Tetapi jika kelompok itu tidak kompak, maka ada penurunan konformitas. Ketika ada satu orang yang menyempal, konformitas akan turun sampai seperempat dari level normal. Tidak soal siapa orang yang menyempal itu. Terlepas dari apakah orang yang membangkang itu adalah ahli atau bukan, konformitas cenderung turun ke level rendah (Asch, 1955; Morris & Miller, 1975). Lebih jauh, seorang pemberontak dapat mereduksi konformitas bahkan jika ia memberi jawaban yang salah. Jika jawaban yang benar adalah A, sedangkan mayoritas mengatakan B, dan ada orang lain yang mengatakan C, maka subjek lebih cenderung tidak menyesuaikan diri ketimbang jika semua orang menyetujui satu jawaban yang salah. Bahkan sedikit perselisihan saja dalam kelompok akan membuat seseorang tidak menyesuaikan diri.
Penurunan konformitas yang dramatis akibat ketidak kompakan tampaknya di sebabkan oleh beberapa faktor yang telah kita diskusikan. Pertama, tingkat keyakinan atau kepercayaan terhadap kebenaran mayoritas akan turun bila terjadi perselisihan dalam kelompok itu. Fakta bahwa ada orang yang tidak sepakat dengan kelompok menunjukkan bahwa ada kemungkinan mayoritas adalah salah. Situasi ini mengurangi kepercayaan kepada opini kelompok dan karenanya mengurangi konformitas. Kedua, ada anggota lain dari kelompok yang mungkin memperkuat pandangan diyakini seseorang. Hal ini akan mereduksi konformitas orang itu. Faktor yang ketiga adalah keengganan untuk tampak menonjol. Satu orang yang berpendapat beda akan tampak menonjol. Tetapi jika ada orang lain yang juga berpendapat beda, maka orang tersebut tidak akan tampak terlalu menonjol dibandinkan hanya dia saja yang berbeda.
Seorang nonkonformis bisa memberikan efek penting selama ada orang lain yang secara diam-diam tidak setuju dengan mayoritas tetapi takut untuk bicara. Ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa pemerintah totalitarian tidak mengizinkan adanya pembangkangan atau perbedaan. Bahkan satu suara yang membangkang bisa mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa, dan ini mungkin membahayakan penguasa otoriter.

3) Komitmen kepada Kelompok.
Konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antara individu dengan kelompok (Forsyth, 1999). Commitment (Komitmen) adalah semua kekuatan, positif atau negatif, yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap setia dalam kelompok.
Kekuatan positif yang menarik individu masuk kelompok adalah rasa suka terhadap kelompok, percaya bahwa kelompok itu mengejar tujuan yang luhur, merasa anggota kelompok itu bekerja sama dengan baik, dan menmgharapkan keuntungan dari keanggotaannya dalam kelompok. Kelompok dengan semangat tinggi, di mana anggota-anggotanya senang bekerja sama dan percaya bahwa mereka kompak sebagai tim, akan lebih mudah untuk menimbulan konformitas ketimbang kelompok yang tidak kompak.
Kekuatan negatif yang membuat seseorang tidak mau meninggalkan kelompok juga akan meningkatkan komitmen. Contohnya adalah halangan keluar karena tidak ada atau hanya sedikit alternatif yang cocok atau karena telah berinvestasi besar dalam kelompok itu yang akan membuatnya rugi jika dia keluar dari kelompok. Misalnya, seseorang tetap berada dalam suatu kelompok lainnya. Secara umum, semakin besar komitmen seseorang terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas terhadap standar kelompok.

4) Keinginan Individu
Orang-orang berbeda-beda dalam kesediaan mereka untuk melakukan hal-hal yang berbeda mencolok dengan orang lain. Beberapa orang lebih suka melebur dalam kelompok dan mengikuti opini kelompok; sebagian lainnya memilih tampil beda. Cristina Maslach dan rekan-rekannya menyusun tes untuk mengukur kesediaan orang melakukan tingdakan publik yang membuat mereka tampak berbeda dengan orang lain. Maslach, Stapp, & Santee, (1985); Whitney, Sagrestano, & Maslach, (1994) menyebut fenomena ini sebagai desire for individuation (keinginan individuasi) (Taylor, 2009).

Konformitas


Konformitas



Pengertian Konformitas
Konformitas adalah salah satu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya (peer group) terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku tertentu pada anggota kelompok tersebut (Zebua dan Nurdjayadi, 2001).
Conformity (konformitas) adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain (Cialdini & Goldstein, 2004). Kebanyakan remaja dianggap bebas memilih sendiri baju dan gaya rambutnya. Akan tetapi, orang sering lebih suka mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka, dan karenanya mengikuti tren busana terbaru (Taylor, et.all., 2009).

Kultur dan Konformitas
Pengalaman konformitas sehari-hari dibentuk oleh konteks kultur (Kim & Markus, 1999). Kultur individualis seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat lebih menekankan pada kebebasan dan kemandirian personal. Anak diajari untuk mandiri dan tegas; anak diberi banyak kebebasan dan didorong untuk kreatif. Dalam konteks kultural ini, aspek negatif dari konformitas cenderung ditekankan. Tekanan konformitas dari kelompok dianggap mengancam keunikan individu.konformitas dianggap akan menghilangkan otonomi dan kontrol personal. Sebaliknya, dalam kultur kolektivis, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, makna konformitasnyaberbeda. Kultur kolektivis menekankan pentingnya ikatan dengan kelompok sosial. Orang tua sangat memperhatikan kepatuhan, perilaku yang tepat, dan penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992). Dalam konteks kultural ini, aspek positif dari konformitas lebih ditekankan. Konformiotas dianggap bukan sebagai respons terhadap desakan sosial, tetapi sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral. Kata Korea untuk konformitas megandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim & Markus, 1999). Dari perspektif kolektivis, keinginan akan independensi dianggap tidak dewasa dan mementingkan diri sendiri. Kesediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan penting bagi kerukunan kelompok.

Riset lintas cultural menunjukkan konformitas yang lebih besar kepada norma kelompok dalam kultur kolektivis ketimbang kultur individualis (Bond & Smith, 1996) dalam studi awal, Berry (1967) menggunakan tugas penilaian Asch untuk membandingkan konformitas di tiga kelompok cultural. Partisipan dari Skotlandia dan dari orang Eskimo di Kepulauan Baffin mewakili kultur individualis yang menghargai tradisi dan konformitas, mewakili kultur kolektivis. Semua partisipan memiliki penglihatan normal. Seperti yang diduga, jelas ada perbedaan cultural. Respons Eskimo menunjukkan konformitas paling rendah (rata-rata kurang dari 3 dalam 15 percobaan), kemudian diikuti oleh Skotlandia (rata-rata sekitar 4). Konformitas terbesar ditunjukkan oleh responden Temne (dengan rata-rata sampai 9 dari 15 percobaan). Meta-analisis terhdap 133 studi konformitas lintas cultural (Bond & Smith, 1996) mengonfirmasikan pola ini, yakni ada lebih banyak konformitas di kalangan masyarakat kolektivis ketimbang individualis. Meta–analisis ini juga menunjukkan bahwa nilai-nilai cultural memberi pengaruh lebih besar terhadap konformitas ketimbang faktor lain, seperti ukuran kelompok atau ambiguitas stimulus.

Dalam studi yang lebih baru, periset meneliti apakah kultur Amerika dan Jepang memberi kesempatan yang berbeda bagi individu untuk menyesuaikan diri atau untuk bertindak secara independen (Morling, Kitayama, & Miyamoto, 2002). Mahasiswa dari AS dan Jepang mendeskripsikan pengalaman personal di mana mereka menyesuaikan diri dengan suatu situasi. Misalnya, mahasiswa Jepang Menulis, “Saat saya belanja bersama kawan, dan dia mengatakan suatu produk tampak keren, saya menyetujui pendapat mereka memengaruhi atau mengubah situasi sesuai keinginannya. Seorang mahasiswa Amerika menulis, “Saya berbicara dengan saudara perempuan saya tentang kencan dengan lelaki yang saya tahu orangnya brengsek.” Mahasiswa di kedua Negara itu mengalami kedua tipe situasi, namun frekuensinya berbeda. Mahasiswa Jepang mengingat ada lebih banyak situasi penyesuaian ketimbang situasi independen; mahasiswa Amerika menunjukkan pola sebaliknya.
Kim dan Markus (1999) menunjukkan sikap cultural yang berbeda terhadap konformitas dan keunikan antara kultur Amerika dan Asia. Dalam sebuah studi, partisipan mengevaluasi satu set figur abstrak. Di setiap set, sebagian figure itu muncul beberapa kali dan ada satu figur yang unik. Dibandingkan dengan partisipan Asia dan Amerika, orang Eropa Amerika menunjukkan lebih menyukai figure yang unik itu. Dalam studi lain, ditawari hadiah pena gratis asal mau mengisi kuesioner ringkas. Mahasiswa dipersilahkan memilih sendiri pena dari sederetan pena dimana kebanyakan pena itu warnanya sama dan hanya sedikit yang berbeda warnanya. Sekali lagi orang Eropa Amerika lebih suka pada pena yang unik. Terakhir, analisis isi iklan dari majalah Korea dan Amerika juga menegaskan adanya perbedaan cultural ini. Iklan Amerika lebih menekankan pada kebebasan, pilihan bebas, keunikan, perlawanan terhadap tradisi. Iklan Korea lebih menekankan pada tradisi dan harmoni dengan norma kelompok.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa ada konsistensi antara nilai-nilai cultural yang dipelajari orang saat mereka masih dalam tahap tumbuh kembang dan yang mereka lihat di media masa, dan preferensi dan perilaku yang mereka tunjukkan pada tahap dewasa. Dalam menginterprestasikan temuan ini, perlu diingat bahwa konformitas memiliki makna yang berbeda dalam kultur yang berbeda. Kim dan Markus (1999) membandingkan pengalaman seorang Amerika saat memesan kopi di kafe di Seoul. Orang Amerika lebih suka memesan kopi sesuai dengan apa yang diinginkannya – cappucino tanpa kafein dan susu tanpa lemak. Di AS, “selera terbaik adalah selera individual, dan orang mesti tahu apa citarasa yang paling cocok dengan dirinya”. Sebaliknya, orang Korea mungkin mempertimbangkan pilihan dan pandangan orang lain, atau dia mungkin berusaha agar tidak menyinggung si pelayan. “Di Korea, selera terbalik bagi individu adalah selera normal, reguler, dan tradisional, dan suatu cita rasa yang brbeda dengan cita rasa yang “tepat” akan dianggap sebagai selera yang buruk.”

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Seseroang cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi ketimbang situasi lain (Cialdini & Trost, 1998). Ukuran kelompok, keseragaman atau kekompakan opini kelompok, dan komitmen kita kepada kelompok dapat memengaruhi konformitas. Selain itu, ada perbedaan individual dalam keinginan akan individual yang juga dapat memengaruhi apakah kita akan menyukai diri atau membangkang.

1) Ukuran Kelompok.
Konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok meningkat – setidaknya sampai titik tertentu. Misalnya anda berada dalam suatu ruangan yang membuat anda merasa dingin. Jika ada satu orang lain diruangan itu yang mengeluh bahwa ruangan itu berhawa panas, Anda mungkin menyimpulkan bahwa orang itu salah atau sedang kena demam. Tetapi apabila ada lima orang lain yang mengatakan bahwa ruangan itu terasa panas, maka Anada mungkin mulai bertanya-tanya, apakah diri Anda yang salah. Lima orang cenderung lebih bisa dipercaya ketimbang satu orang; adalah lebih sulit untuk tidak mempercayai suatu kelompok ketimbang satu orang.
Dalam beberapa eksperimen, Asch (1955) memvariasikan ukuran mayoritas dari 2 sampai 15. Dia menemukan bahwa orang akan menghasilkan lebih banyak tekanan ke arah konformitas ketimbang 1 orang dan 3 orang tekanannya lebih besar ketimbang 2, sedangkan 4 orang memberi tekanan yang hampir sama dengan 3 orang. Yang mengejutkan, peningkatan jumlah kelompok setelah 4 orang secara substansial tidak meningkatkan besaran konformitas.

2) Keseragaman Kelompok.
Seseorang yang berhadapan denganmayoritas yang kompak akan cenderung untuk ikut menyesuaikan diri dengan mayoritas itu. Tetapi jika kelompok itu tidak kompak, maka ada penurunan konformitas. Ketika ada satu orang yang menyempal, konformitas akan turun sampai seperempat dari level normal. Tidak soal siapa orang yang menyempal itu. Terlepas dari apakah orang yang membangkang itu adalah ahli atau bukan, konformitas cenderung turun ke level rendah (Asch, 1955; Morris & Miller, 1975). Lebih jauh, seorang pemberontak dapat mereduksi konformitas bahkan jika ia memberi jawaban yang salah. Jika jawaban yang benar adalah A, sedangkan mayoritas mengatakan B, dan ada orang lain yang mengatakan C, maka subjek lebih cenderung tidak menyesuaikan diri ketimbang jika semua orang menyetujui satu jawaban yang salah. Bahkan sedikit perselisihan saja dalam kelompok akan membuat seseorang tidak menyesuaikan diri.

Penurunan konformitas yang dramatis akibat ketidak kompakan tampaknya di sebabkan oleh beberapa faktor yang telah kita diskusikan. Pertama, tingkat keyakinan atau kepercayaan terhadap kebenaran mayoritas akan turun bila terjadi perselisihan dalam kelompok itu. Fakta bahwa ada orang yang tidak sepakat dengan kelompok menunjukkan bahwa ada kemungkinan mayoritas adalah salah. Situasi ini mengurangi kepercayaan kepada opini kelompok dan karenanya mengurangi konformitas. Kedua, ada anggota lain dari kelompok yang mungkin memperkuat pandangan diyakini seseorang. Hal ini akan mereduksi konformitas orang itu. Faktor yang ketiga adalah keengganan untuk tampak menonjol. Satu orang yang berpendapat beda akan tampak menonjol. Tetapi jika ada orang lain yang juga berpendapat beda, maka orang tersebut tidak akan tampak terlalu menonjol dibandinkan hanya dia saja yang berbeda.

Seorang nonkonformis bisa memberikan efek penting selama ada orang lain yang secara diam-diam tidak setuju dengan mayoritas tetapi takut untuk bicara. Ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa pemerintah totalitarian tidak mengizinkan adanya pembangkangan atau perbedaan. Bahkan satu suara yang membangkang bisa mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa, dan ini mungkin membahayakan penguasa otoriter.

3) Komitmen kepada Kelompok.
Konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antara individu dengan kelompok (Forsyth, 1999). Commitment (Komitmen) adalah semua kekuatan, positif atau negatif, yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap setia dalam kelompok.
Kekuatan positif yang menarik individu masuk kelompok adalah rasa suka terhadap kelompok, percaya bahwa kelompok itu mengejar tujuan yang luhur, merasa anggota kelompok itu bekerja sama dengan baik, dan menmgharapkan keuntungan dari keanggotaannya dalam kelompok. Kelompok dengan semangat tinggi, di mana anggota-anggotanya senang bekerja sama dan percaya bahwa mereka kompak sebagai tim, akan lebih mudah untuk menimbulan konformitas ketimbang kelompok yang tidak kompak.
Kekuatan negatif yang membuat seseorang tidak mau meninggalkan kelompok juga akan meningkatkan komitmen. Contohnya adalah halangan keluar karena tidak ada atau hanya sedikit alternatif yang cocok atau karena telah berinvestasi besar dalam kelompok itu yang akan membuatnya rugi jika dia keluar dari kelompok. Misalnya, seseorang tetap berada dalam suatu kelompok lainnya. Secara umum, semakin besar komitmen seseorang terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas terhadap standar kelompok.

4) Keinginan Individu
Orang-orang berbeda-beda dalam kesediaan mereka untuk melakukan hal-hal yang berbeda mencolok dengan orang lain. Beberapa orang lebih suka melebur dalam kelompok dan mengikuti opini kelompok; sebagian lainnya memilih tampil beda. Cristina Maslach dan rekan-rekannya menyusun tes untuk mengukur kesediaan orang melakukan tingdakan publik yang membuat mereka tampak berbeda dengan orang lain. Maslach, Stapp, & Santee, (1985); Whitney, Sagrestano, & Maslach, (1994) menyebut fenomena ini sebagai desire for individuation (keinginan individuasi) (Taylor, 2009).