Kamis, 05 Agustus 2010

Konformitas


Konformitas



Pengertian Konformitas
Konformitas adalah salah satu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya (peer group) terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku tertentu pada anggota kelompok tersebut (Zebua dan Nurdjayadi, 2001).
Conformity (konformitas) adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain (Cialdini & Goldstein, 2004). Kebanyakan remaja dianggap bebas memilih sendiri baju dan gaya rambutnya. Akan tetapi, orang sering lebih suka mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka, dan karenanya mengikuti tren busana terbaru (Taylor, et.all., 2009).

Kultur dan Konformitas
Pengalaman konformitas sehari-hari dibentuk oleh konteks kultur (Kim & Markus, 1999). Kultur individualis seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat lebih menekankan pada kebebasan dan kemandirian personal. Anak diajari untuk mandiri dan tegas; anak diberi banyak kebebasan dan didorong untuk kreatif. Dalam konteks kultural ini, aspek negatif dari konformitas cenderung ditekankan. Tekanan konformitas dari kelompok dianggap mengancam keunikan individu.konformitas dianggap akan menghilangkan otonomi dan kontrol personal. Sebaliknya, dalam kultur kolektivis, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, makna konformitasnyaberbeda. Kultur kolektivis menekankan pentingnya ikatan dengan kelompok sosial. Orang tua sangat memperhatikan kepatuhan, perilaku yang tepat, dan penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992). Dalam konteks kultural ini, aspek positif dari konformitas lebih ditekankan. Konformiotas dianggap bukan sebagai respons terhadap desakan sosial, tetapi sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral. Kata Korea untuk konformitas megandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim & Markus, 1999). Dari perspektif kolektivis, keinginan akan independensi dianggap tidak dewasa dan mementingkan diri sendiri. Kesediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan penting bagi kerukunan kelompok.

Riset lintas cultural menunjukkan konformitas yang lebih besar kepada norma kelompok dalam kultur kolektivis ketimbang kultur individualis (Bond & Smith, 1996) dalam studi awal, Berry (1967) menggunakan tugas penilaian Asch untuk membandingkan konformitas di tiga kelompok cultural. Partisipan dari Skotlandia dan dari orang Eskimo di Kepulauan Baffin mewakili kultur individualis yang menghargai tradisi dan konformitas, mewakili kultur kolektivis. Semua partisipan memiliki penglihatan normal. Seperti yang diduga, jelas ada perbedaan cultural. Respons Eskimo menunjukkan konformitas paling rendah (rata-rata kurang dari 3 dalam 15 percobaan), kemudian diikuti oleh Skotlandia (rata-rata sekitar 4). Konformitas terbesar ditunjukkan oleh responden Temne (dengan rata-rata sampai 9 dari 15 percobaan). Meta-analisis terhdap 133 studi konformitas lintas cultural (Bond & Smith, 1996) mengonfirmasikan pola ini, yakni ada lebih banyak konformitas di kalangan masyarakat kolektivis ketimbang individualis. Meta–analisis ini juga menunjukkan bahwa nilai-nilai cultural memberi pengaruh lebih besar terhadap konformitas ketimbang faktor lain, seperti ukuran kelompok atau ambiguitas stimulus.

Dalam studi yang lebih baru, periset meneliti apakah kultur Amerika dan Jepang memberi kesempatan yang berbeda bagi individu untuk menyesuaikan diri atau untuk bertindak secara independen (Morling, Kitayama, & Miyamoto, 2002). Mahasiswa dari AS dan Jepang mendeskripsikan pengalaman personal di mana mereka menyesuaikan diri dengan suatu situasi. Misalnya, mahasiswa Jepang Menulis, “Saat saya belanja bersama kawan, dan dia mengatakan suatu produk tampak keren, saya menyetujui pendapat mereka memengaruhi atau mengubah situasi sesuai keinginannya. Seorang mahasiswa Amerika menulis, “Saya berbicara dengan saudara perempuan saya tentang kencan dengan lelaki yang saya tahu orangnya brengsek.” Mahasiswa di kedua Negara itu mengalami kedua tipe situasi, namun frekuensinya berbeda. Mahasiswa Jepang mengingat ada lebih banyak situasi penyesuaian ketimbang situasi independen; mahasiswa Amerika menunjukkan pola sebaliknya.
Kim dan Markus (1999) menunjukkan sikap cultural yang berbeda terhadap konformitas dan keunikan antara kultur Amerika dan Asia. Dalam sebuah studi, partisipan mengevaluasi satu set figur abstrak. Di setiap set, sebagian figure itu muncul beberapa kali dan ada satu figur yang unik. Dibandingkan dengan partisipan Asia dan Amerika, orang Eropa Amerika menunjukkan lebih menyukai figure yang unik itu. Dalam studi lain, ditawari hadiah pena gratis asal mau mengisi kuesioner ringkas. Mahasiswa dipersilahkan memilih sendiri pena dari sederetan pena dimana kebanyakan pena itu warnanya sama dan hanya sedikit yang berbeda warnanya. Sekali lagi orang Eropa Amerika lebih suka pada pena yang unik. Terakhir, analisis isi iklan dari majalah Korea dan Amerika juga menegaskan adanya perbedaan cultural ini. Iklan Amerika lebih menekankan pada kebebasan, pilihan bebas, keunikan, perlawanan terhadap tradisi. Iklan Korea lebih menekankan pada tradisi dan harmoni dengan norma kelompok.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa ada konsistensi antara nilai-nilai cultural yang dipelajari orang saat mereka masih dalam tahap tumbuh kembang dan yang mereka lihat di media masa, dan preferensi dan perilaku yang mereka tunjukkan pada tahap dewasa. Dalam menginterprestasikan temuan ini, perlu diingat bahwa konformitas memiliki makna yang berbeda dalam kultur yang berbeda. Kim dan Markus (1999) membandingkan pengalaman seorang Amerika saat memesan kopi di kafe di Seoul. Orang Amerika lebih suka memesan kopi sesuai dengan apa yang diinginkannya – cappucino tanpa kafein dan susu tanpa lemak. Di AS, “selera terbaik adalah selera individual, dan orang mesti tahu apa citarasa yang paling cocok dengan dirinya”. Sebaliknya, orang Korea mungkin mempertimbangkan pilihan dan pandangan orang lain, atau dia mungkin berusaha agar tidak menyinggung si pelayan. “Di Korea, selera terbalik bagi individu adalah selera normal, reguler, dan tradisional, dan suatu cita rasa yang brbeda dengan cita rasa yang “tepat” akan dianggap sebagai selera yang buruk.”

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Seseroang cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi ketimbang situasi lain (Cialdini & Trost, 1998). Ukuran kelompok, keseragaman atau kekompakan opini kelompok, dan komitmen kita kepada kelompok dapat memengaruhi konformitas. Selain itu, ada perbedaan individual dalam keinginan akan individual yang juga dapat memengaruhi apakah kita akan menyukai diri atau membangkang.

1) Ukuran Kelompok.
Konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok meningkat – setidaknya sampai titik tertentu. Misalnya anda berada dalam suatu ruangan yang membuat anda merasa dingin. Jika ada satu orang lain diruangan itu yang mengeluh bahwa ruangan itu berhawa panas, Anda mungkin menyimpulkan bahwa orang itu salah atau sedang kena demam. Tetapi apabila ada lima orang lain yang mengatakan bahwa ruangan itu terasa panas, maka Anada mungkin mulai bertanya-tanya, apakah diri Anda yang salah. Lima orang cenderung lebih bisa dipercaya ketimbang satu orang; adalah lebih sulit untuk tidak mempercayai suatu kelompok ketimbang satu orang.
Dalam beberapa eksperimen, Asch (1955) memvariasikan ukuran mayoritas dari 2 sampai 15. Dia menemukan bahwa orang akan menghasilkan lebih banyak tekanan ke arah konformitas ketimbang 1 orang dan 3 orang tekanannya lebih besar ketimbang 2, sedangkan 4 orang memberi tekanan yang hampir sama dengan 3 orang. Yang mengejutkan, peningkatan jumlah kelompok setelah 4 orang secara substansial tidak meningkatkan besaran konformitas.

2) Keseragaman Kelompok.
Seseorang yang berhadapan denganmayoritas yang kompak akan cenderung untuk ikut menyesuaikan diri dengan mayoritas itu. Tetapi jika kelompok itu tidak kompak, maka ada penurunan konformitas. Ketika ada satu orang yang menyempal, konformitas akan turun sampai seperempat dari level normal. Tidak soal siapa orang yang menyempal itu. Terlepas dari apakah orang yang membangkang itu adalah ahli atau bukan, konformitas cenderung turun ke level rendah (Asch, 1955; Morris & Miller, 1975). Lebih jauh, seorang pemberontak dapat mereduksi konformitas bahkan jika ia memberi jawaban yang salah. Jika jawaban yang benar adalah A, sedangkan mayoritas mengatakan B, dan ada orang lain yang mengatakan C, maka subjek lebih cenderung tidak menyesuaikan diri ketimbang jika semua orang menyetujui satu jawaban yang salah. Bahkan sedikit perselisihan saja dalam kelompok akan membuat seseorang tidak menyesuaikan diri.

Penurunan konformitas yang dramatis akibat ketidak kompakan tampaknya di sebabkan oleh beberapa faktor yang telah kita diskusikan. Pertama, tingkat keyakinan atau kepercayaan terhadap kebenaran mayoritas akan turun bila terjadi perselisihan dalam kelompok itu. Fakta bahwa ada orang yang tidak sepakat dengan kelompok menunjukkan bahwa ada kemungkinan mayoritas adalah salah. Situasi ini mengurangi kepercayaan kepada opini kelompok dan karenanya mengurangi konformitas. Kedua, ada anggota lain dari kelompok yang mungkin memperkuat pandangan diyakini seseorang. Hal ini akan mereduksi konformitas orang itu. Faktor yang ketiga adalah keengganan untuk tampak menonjol. Satu orang yang berpendapat beda akan tampak menonjol. Tetapi jika ada orang lain yang juga berpendapat beda, maka orang tersebut tidak akan tampak terlalu menonjol dibandinkan hanya dia saja yang berbeda.

Seorang nonkonformis bisa memberikan efek penting selama ada orang lain yang secara diam-diam tidak setuju dengan mayoritas tetapi takut untuk bicara. Ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa pemerintah totalitarian tidak mengizinkan adanya pembangkangan atau perbedaan. Bahkan satu suara yang membangkang bisa mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa, dan ini mungkin membahayakan penguasa otoriter.

3) Komitmen kepada Kelompok.
Konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antara individu dengan kelompok (Forsyth, 1999). Commitment (Komitmen) adalah semua kekuatan, positif atau negatif, yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap setia dalam kelompok.
Kekuatan positif yang menarik individu masuk kelompok adalah rasa suka terhadap kelompok, percaya bahwa kelompok itu mengejar tujuan yang luhur, merasa anggota kelompok itu bekerja sama dengan baik, dan menmgharapkan keuntungan dari keanggotaannya dalam kelompok. Kelompok dengan semangat tinggi, di mana anggota-anggotanya senang bekerja sama dan percaya bahwa mereka kompak sebagai tim, akan lebih mudah untuk menimbulan konformitas ketimbang kelompok yang tidak kompak.
Kekuatan negatif yang membuat seseorang tidak mau meninggalkan kelompok juga akan meningkatkan komitmen. Contohnya adalah halangan keluar karena tidak ada atau hanya sedikit alternatif yang cocok atau karena telah berinvestasi besar dalam kelompok itu yang akan membuatnya rugi jika dia keluar dari kelompok. Misalnya, seseorang tetap berada dalam suatu kelompok lainnya. Secara umum, semakin besar komitmen seseorang terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas terhadap standar kelompok.

4) Keinginan Individu
Orang-orang berbeda-beda dalam kesediaan mereka untuk melakukan hal-hal yang berbeda mencolok dengan orang lain. Beberapa orang lebih suka melebur dalam kelompok dan mengikuti opini kelompok; sebagian lainnya memilih tampil beda. Cristina Maslach dan rekan-rekannya menyusun tes untuk mengukur kesediaan orang melakukan tingdakan publik yang membuat mereka tampak berbeda dengan orang lain. Maslach, Stapp, & Santee, (1985); Whitney, Sagrestano, & Maslach, (1994) menyebut fenomena ini sebagai desire for individuation (keinginan individuasi) (Taylor, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar