Jumat, 09 Juli 2010

Intensitas Menonton Televisi


Intensitas Menonton Televisi

1. Pengertian Intensitas
Intensitas dari bahasa Inggris "intensity" yang berarti: (a) quality of being intense: the strength, power, force, or concentration of something; The pain increased in intensity; (b) intense manner: a passionate and serious attitude or quality; a rare emotional intensity in her work (Microsoft® Encarta® Reference Library 2005). Intesitas berarti kualitas dari tingkat kedalaman: kemampuan, kekuatan, daya atau konsentrasi terhadap sesuatu atau tingkat keseringan atau kedalaman cara atau sikap, perilaku seseorang.
2. Pengertian Menonton
Menonton berarti aktivitas melihat sesuatu dengan tingkat perhatian tertentu (Sudarwan Danim, 1995:20). Menonton televisi yaitu aktivitas melihat siaran televisi sebagai media audio visual dengan tingkat perhatian tertentu.
3. Pengertian Televisi
Televisi adalah alat elektronik yang berfungsi menyebarkan gambar dan diikuti oleh suara tertentu. Pada dasarnya sama dengan gambar hidup bersuara (Sudarwan Danim, 1995:20). Milton Chen (1996:6) mengatakan bahwa menonton televisi adalah kegiatan khusus; yakni menyaksikan program-program yang ditayangkan televisi. Tayangan televisi dalam hal ini adalah acara-acara yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, antara lain TVRI, TPI, ANTV, RCTI, SCTV, Indosiar, Trans, TV7.
4. Pengertian Intensitas Menonton Televisi
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa intentsitas menonton televisi artinya tingkat seringnya melihat siaran yang ditayangkan dalam televisi dengan tingkat perhatian tertentu.
Fungsi Menonton Televisi
Fungsi televisi, sebagaimana media massa lainnya, menurut seorang ahli komunikasi, Harold D. Laswell ( dalam Subroto, 1996:23) adalah sebagai berikut.
a. The surveillance of the environment. Artinya, televisi dan media massa lain mempunyai fungsi sebagai pengamat lingkungan. Dalam bahasa sederhana, televisi berfungsi sebagai pemberi informasi tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan penglihatan masyarakat.
b. The correlation of the parts of society in responding to the environment. Artinya, televisi atau media massa lain, berfungsi untuk melakukan seleksi, evaluasi, dan interpretasi dari informasi. Dalam hal ini, peranan media massa dan televisi adalah melakukan seleksi mengenai apa yang perlu dan pantas untuk disiarkan. Pemilihan dilakukan oleh editor, repoter, redaktur yang mengelola televisi.
c. The transmission of the social heritage from one generation to the next. Artinya, media massa dan televisi sebagai sarana untuk menyampaikan nilai dan warisan sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang akan datang.
Dengan memahami fungsi televisi tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa fungsi menonton televisi adalah:
a. Untuk memperoleh berita dan penerangan. Berita di televisi merupakan sajian yang dianggap penting oleh orang yang membutuhkan informasi. Pada jam-jam tertentu berita ini ditayangkan untuk menyiarkan berita terbaru baik berita dalam negeri maupun luar negeri.
b. Untuk memperoleh informasi pendidikan. Paket acara pendidikan yang di tayangkan televisi, sebagai media audio visual massa merupakan saran pendidikan yang menarik. Namun pada saat ini, porsi tayangan informasi pendidikan ini sangat terbatas dan sedikit sekali.
c. Untuk memperoleh hiburan. Pada saat ini hampir sebagian besar tayangan televisi merupakan hiburan dengan berbagai ragamnya. Hiburan yang ditayangkan antara lain telenovela, drama, film carton, musik, kuis, dan lain-lain. Tayangan jenis hiburan inilah yang sering tidak terkontrol antara hiburan yang disajikan bagi anak-anak, remaja dan orang tua. Dari paket tayangan televisi, paket hiburan inilah yang paling banyak memberikan pengaruh.
Dampak Menonton Televisi terhadap Anak
Hurlock (1999:342) menyatakan bahwa banyak bayi diperkenalkan dengan televisi pada saat mereka masih di tempat tidur. Baginya televisi merupakan pengasuh yang setia karena selalu menghibur bila tidak ada yang melakukan peran tersebut. Bagi sebagian anak prasekolah dan bahkan anak yang lebih tua, menonton televisi merupakan kegiatan tambahan dan tidak hanya sebagai pengganti bermain aktif dan bentuk bermain pasif lainnya. Akan tetapi, bagi kebanyakan anak, menonton televisi lebih popular dan lebih banyak menyita waktu bermainnya ketimbang kegiatan bermain lainnya.
Jika intensitas menonton televise pada anak TK terlalu tinggi, maka akan berakibat yang negative pada anak.
a. Pengaruh terhadap Perkembangan Otak
Problem yang muncul adalah berapa lama anak-anak menonton televisi dan pengaruhnya bagi anak-anak. Belum lama ini, American Academy of Pediatrics (AAP) dalam publikasi di jurnal Pediatrics membuat pernyataan yang menimbulkan pro dan kontra. Pernyataan itu antara lain: “Dua tahun pertama seorang bayi adalah masa yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, dan dalam masa itu anak membutuhkan interaksi dengan anak atau orang lain. terlalu banyak menonton televisi akan memberikan pengaruh negatif pada perkembangan otak. Hal ini benar, terutama bagi usia yang masih awal, di mana bermain dan berbicara adalah sangat penting”.
Lebih lanjut, AAP mengeluarkan penyataan tidak merekomendasikan anak di bawah dua tahun menonton televisi. Sedangkan anak yang berusia lebih tua, AAP menyarankan batasan menonton televisi hanya 1-2 jam saja, dan yang ditonton adalah acara edukatif dan tidak menampilkan kekerasan. Hal ini jelas belum bisa dipenuhi stasiun-stasiun televisi di Indonesia, yang sangat berorientasi pada bisnis (Dudung A M, 2002:4)
b. Pengaruh terhadap Logika Anak
Televisi bisa memberi dampak yang begitu buruk pada anak. Masalah utamanya ialah ketidakmampuan anak kecil membedakan dunia yang dilihatnya di televisi dengan apa yang sebenarnya. Bagi orang dewasa tidak ada masalah, sebab orang dewasa tahu apa yang sungguh terjadi di dunia dan fiksi belaka. Ketika orang dewasa melihat film aksi atau horror, ia tahu apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.
Orang dewasa tahu bahwa Rambo atau Frankenstein itu hanya karangan saja. Orang dewasa juga tahu, orang tidak dibunuh atau dipukul sungguh-sungguh dalam film. Sebaliknya, anak kecil kebanyakan belum mengenal dan mengetahui apa acting, efek film, tipuan kamera dan sebagainya. Bagi mereka, dunia di luar rumah adalah seperti yang tersaji di televisi, yang dilihatnya setiap hari.
Di mata anak-anak, kekerasan yang ada menjadi hal biasa, dan boleh-boleh saja dilakukan, apalagi terhadap orang yang bersalah, seperti ditunjukkan di dalam film-film. Bahkan ada stigma orang yang melakukan kekerasan terhadap “orang jahat” adalah sesuatu yang heroik.
Sebuah penelitian di AS melaporkan, karena terlalu banyak menonton televisi, anak-anak dapat beranggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, dan bagian dari hidup sehari-hari. Sebagai akibatnya, mereka menjadi lebih agresif dan memiliki kecenderungan untuk memecahkan tiap persoalan dengan jalan kekerasan terhadap orang lain (Dudung A M, 2002:4).
c. Pengaruh pada Sikap
Hurlock (1999:345) menjelaskan bahwa tokoh di televisi biasanya digambarkan dengan berbagai stereotip. Anak kemudian berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Ini mempengaruhi sikap anak terhadap mereka.
d. Efek “Kecanduan”
Efek candu yang disebabkan oleh televisi mengakibatkan anak-anak selalu ingin menonton televisi dengan frekuensi yang makin meningkat. Tidak hanya anak-anak, bahkan orang dewasa dapat kecanduan nonton film televisi, bisa melupakan segalanya. Orang dewasa yang dapat dikatakan memiliki kekuatan dan kepribadian cukup matang, sering tidak bisa menahan diri untuk tidak menonton sinetron atau telenovela.
Pada anak-anak, efek kecanduan tersebut dapat terlihat pada anak-anak yang amat kecanduan dengan film-film dan tokoh kartun seperti Pokemon, Winnie the Pooh, Doraemon, Dragon Ball, dan sebagainya. Kecanduan ini akan semakin menjadi masalah, bila anak sampai tidak mau bermain di luar, dengan lingkungan sekitarnya. Anak tidak mau bersosialisasi, dan dunianya tidak bertambah luas. Stimulasi berupa interaksi sesama anak dan orang dewasa di sekitarnya menjadi minimal, dan dapat menjadi kuper (kurang pergaulan). Waktu belajar pun akan terpotong oleh jam-jam tertentu waktu acara televisi sedang ditayangkan.
Kelanjutan dari berkurangnya waktu belajar ini akan berdampak pada prestasi di sekolah. Anak yang kurang belajar, tentu nilainya akan kurang baik dibandingkan teman-temannya yang lebih rajin (Dudung A M, 2002:4).
e. Pengaruh pada Nilai
Hurlock (1999:345) menjelaskan bahwa menu acara yang terus menerus menunjukkan adegan pembunuhan, penyiksaan, dan kekejaman pada saatnya akan menumpulkan kepekaan dan mendorong pengembangan nilai anak yang tidak sejalan dengan nilai mayoritas kelompok sosial. Apabila anak terbiasa dan tidak peka terhadap kekerasan, mereka akan menerima perilaku itu sebagai pola hidup yang normal. Milton Chen (1996:51) menjelaskan, hingga saat merampungkan kelas enam, anak Amerika rata-rata menyaksikan 100.000 tindak kekerasan yang ditayangkan di televisi, termasuk 8.000 pembunuhan.
f. Pengaruh terhadap Kreativitas Anak
Dampak lain dari terlalu banyak menonton televisi adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif. Anak-anak kurang beraktivitas, tetapi hanya duduk di depan televisi, dan melihat apa saja yang ada di depannya. Baik secara fisik maupun mental, anak menjadi pasif, karena memang orang yang menonton televisi tidak perlu berbuat apa-apa. Hanya duduk, mendengar dan melihat apa yang di televisi.
Kemampuan berpikir dan kreativitas anak tidak terasah, karena tidak perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya ia membaca buku atau mendengar musik. Hal lain yang menyertai kepasifan ini adalah anak cenderung menjadi lebih gemuk, bahkan bisa overweight karena mereka biasanya menonton televisi sambil makan kudapan (cemilan) terus menerus tanpa terasa.
Robert Kleges, seorang peneliti pada Memphis State University menemukan bahwa anak-anak yang menonton televisi cenderung menghabiskan lebih sedikit kalori per menit – tidak hanya lebih sedikit dari mereka yang membaca atau “tidak melakukan apa-apa” – kenyataannya, sedikit kalori yang digunakan oleh anak-anak yang tidur.
Anak-anak pada waktu dulu menghabiskan waktu dengan bermain dan mencari tahu situasi di sekitar mereka. Kini, anak-anak sekarang menghabiskan waktunya dengan nonton televisi selama mungkin. Anak-anak muda yang seharusnya keluar rumah untuk mengalami memar, kotor, dan kecapekan, kini hanya menggerakkan kelopak mata mereka ketika duduk berjam-jam di depan pesawat televisi.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa televisi mempengaruhi kemampuan menyenangkan diri sendiri, dan melumpuhkan kemampuan mengemukakan pendapatnya secara logis dan sensitive. Tontonan televisi menggantikan kegiatan bermain yang aktif dengan sikap pasif (Dudung A M, 2002:4).
g. Pengaruh pada Perilaku
Karena anak suka meniru, mereka merasa bahwa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Karena para pahlawan yang patuh kepada hukum kurang menonjol ketimbang mereka yang menyimpangkan perhatian dengan kekerasan dan tatanan sosial lainnya, anak-anak cenderung memperhatikan cara yang terakhir untuk mengidentifikasikan diri dan menirunya (Hurlock, 1999:345).
Milton Chen (1996:51) memaparkan beberapa pengkajian perilaku anak-anak di berbagai wilayah sebelum dan sesudah masuknya televisi. Pada awal 1970-an, Tannis Machbeth Williams dan para periset lain dari Universitas British Columbia membandingkan tingkat agresi pada anak-anak kelas satu dan dua SD dari dua kota Kanada – yang satu mempunyai televisi, dan yang lain tidak bisa menerima televisi karena terhalang deretan pegunungan. Ketika kota pegunungan itu akhirnya bisa menerima siaran televisi, tingkat pukul-memukul, gigit-menggigit, dan dorong-mendorong pada anak-anak itu meningkat sebesar 160 persen.
h. Pengaruh Konsumerisme
Selain hal-hal yang tersebut di atas, terdapat dampak negatif lain dari televisi yaitu pengaruh dari iklan di televisi yang makin hari makin bombastis. Begitu banyak iklan yang menawarkan berbagai barang: dari mainan anak, makanan, minuman, dan lain sebagainya. Iklan-iklan itu dengan memberikan janji-janji kesenangan dan kebahagiaan keluarga yang akan diperoleh bila membeli produk tersebut. Milton Chen (1996:63) menyebutkan rata-rata anak Amerika menonton 20.000 iklan per tahun. Para pemasang iklan membelanjakan sekitar $700 juta dolar per tahun untuk melontarkan iklan kepada anak-anak.
Tanpa sadar, pesan ini dapat menanamkan pada anak nilai-nilai konsumerisme dan bahwa kebahagiaan /kesuksesan sebuah keluarga diukur dari kemampuan memiliki produk yang ditawarkan (Dudung A M, 2002:4).
i. Pengaruh pada Cara Berbicara
Cara berbicara anak sangat dipengaruhi pembicaraan yang didengarnya, apa yang diucapkan orang dan bagaimana cara mengucapkannya, sehingga meningkatkan pelafalan dan tata bahasa, namun belum tentu akan memberi pola yang baik dalam pengungkapan hal-hal yang dikatakan anak (Hurlock, 1999: 345)
j. Pengaruh Positif
Meski demikian, ada juga dampak positif dari televisi. Misalnya menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari, belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi, dan sebagainya.
Berbagai acara di televisi (selain film), misalnya musik, olahraga, kesenian, berita, dan lain-lain, juga dapat menambah wawasan dan minat. Anak menjadi mengenal berbagai aktivitas yang bisa dilakukannya. Mereka akan mengetahui perkembangan iptek, perkembangan peristiwa dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya. Namun persentase acara televisi yang bersifat pendidikan masih sedikit.
Dengan adanya berbagai pengaruh negatif dan positif tersebut, perlu adanya upaya orang tua dalam membimbing anak menonton televisi. Orang tua perlu melakukan beberapa seleksi ketat, mulai dari jam serta lama menonton, jenis tontonan, dan kesesuaian umur. Kalau ada waktu senggang, orang tua perlu mendampingi anak saat menonton televisi. Dengan menemani anak menonton, orang tua dapat mengajak anak membahas apa yang ada di televisi, dan membuatnya mengerti bahwa apa yang ada di televisi tidak semua sama dengan apa yang ada sebenarnya. Orang tua juga akan makin erat hubungan komunikasinya dengan anak (Dudung A M, 2002:4).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar