Kamis, 02 Juni 2011

Lulus SD, tak bisa lanjutkan sekolah?



Salah satu kebutuhan yang terus dirasakan hingga kini dalam dunia pendidikan kita adalah memberikan kesempatan belajar yang sama bagi seluruh rakyat (anak) Indonesia. Secara lebih khusus kebutuhan tersebut terasa ditingkat pendidikan sekolah lanjutan karena ledakan lulusan SD yang terus meningkat sementara tempat yang tersedia untuk mereka di SMP amat terbatas. Jika pada akhir 1978 dari 940.000 lulusan SD, 85 % diharapkan dapat tertampung di SMTP namun ternyata hanya 71,1 % saja yang dapat tertampung. Lebih-lebih lagi sejak tahun 1980/1981 saat SD Inpres meluluskan angkatan pertamanya kita semakin kewalahan. Hanya 72,4 % saja dari 1.818.000 orang lulusan yang dapat tertampung di SMP. Diperkirakan diakhir Pelita III hanya 76,2 % lulusan SD yang dapat tertampung. Padahal berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan seperti misalnya mendidik guru secepatnya (dengan konsekuensi mutu kurang), membangun gedung sekolah, atau meningkatkan kapasitas sekolah-sekolah yang telah ada. Masalah tersebut tetap saja ada karena masih banyaknya anak-anak lulusan SD yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang sulit komunikasinya serta lemah dari segi sosial ekonomi. Selain tak kuat membiayai sekolah alasan mereka tidak masuk SMP karena tak adanya sekolah tersebut di dekat tempat tinggal mereka.

Oleh karena itu dirasa perlu untuk mencari jalan keluar atas masalah ini.


Alternatif pemecahan

Berbagai alternatif telah diidentifikasi dan dikaji kelaikannya, antara lain: pembangunan gedung sekolah baru (konsekuensi: harus ada guru-guru, peralatan, sarana belajar, dan sebagainya); pengadaan guru dengan program-program darurat (konsekuensi: selain masih perlu waktu, mutu juga tak dapat dijamin); peningkatan kapasitas sekolah yang ada dan pembukaan kursus-kursus. Pengalaman rupanya mengajarkan bahwa alternatif-alternatif konvensional ini tidak dapat mengatasi masalah secara tuntas, sehingga muncul alternatif yang inovatif yaitu dengan pendidikan terbuka (SMP Terbuka).

Setelah dikaji akhirnya pemerintah memutuskan untuk segera mengembangkan sistem pendidikan terbuka tingkat SMP ini. Alternatif ini terpilih karena kelebihan-kelebihan berikut:

- SMP T dapat menjangkau daerah yang kurang memperoleh kesempatan karena faktor geografis, sosial, dan ekonomi;

- memanfaatkan sumber yang ada secara efektif dan efisien;

- dapat dikembangkan dengan cepat tanpa membawa beban berat bagi pengadaan guru dan tempat;

- dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih rendah.

Lima daerah perintisan kemudian ditentukan. Tiga di Jawa: Cirebon, Tegal, Jember, dan dua di luar Jawa: Lampung dan Lombok.

Analisis siswa dan lingkungan

Calon siswa-siswa SMP T adalah lulusan SD diberbagai desa di Indonesia yang rata-rata mempunyai karakteristik sebagai berikut:

- usia sekitar 13-15 tahun;

- berasal dari keluarga yang kurang mampu;

- pekerjaan orang tua ada umumnya petani, buruh, pedagang, nelayan, dan sedikit pegawai negeri, para pensiunan atau malahan tak bekerja sama sekali;

- oleh karena untuk masuk ke SMP siswa-siswa harus di tes terlebih dahulu dan calon-calon siswa yang akan masuk SMPT pada umumnya adalah mereka yang tidak lulus tes tersbut atau lulus dengan urutan di bawah, diduga mereka mempunyai tingkatnya kemampuan (kecerdasan) di bawah teman-temannya yang di SMP biasa;

- oleh karena mereka telah lulus ujian SD dan ujian SD diadakan oleh pusat maka diduga mereka telah mempunyai kemampuan-kemampuan prasyarat untuk pendidikan tingkat SMP;

- sebagian dari mereka berasal dari keluarga dengan orang tua yang belum menyadari benar pentingnya pendidikan; yang merasa aib kalau anak gadis-gadisnya yang 13 tahun itu tidak laku karena tidak segera dikawinkan.

- sebagian besar beragama islam.

- sebagian besar membantu orang tua bekerja sehingga tidak punya waktu pagi hari untuk ke sekolah;

- hampir semua berbahasa ibu bahasa daerah masing-masing;

- mereka sudah dapat membaca tetapi belum terbiasa membaca untuk kepentingan dan atas dasar keinginan sendiri.

Analisis terhadap lingkungan serta sumber-sumber yang relevan menghasilkan informasi-informasi sebagai berikut:

- pada umumnya calon siswa tinggal tersebar diberbagai desa yang relatif sulit dijangkau;

- di tiap kecamatan ada SMP Negeri dan SMP Negeri inilah yang pada umumnya diserbu oleh para lulusan SD tersebut. Kecuali itu ada juga 1-2 SMP Swasta;

- di SMP Negeri/Swasta tersebut selain ada guru-guru/Kepala dan Wakil Kepala Sekolah juga ada berbagai sarana pendidikan yang diperlukan. Pada umumnya mereka masih mungkin dibebani tugas tambahan, seandainya ada tempat untuk menampung siswa-siswa yang tak diterima;

- kecuali itu ada banyak tenaga/orang-orang sumber yang dapat di manfaatkan di masyarakat sekitar seperti misalnya tokoh masyarakat, para pengusaha, guru-guru SD, mahasiswa KKN, pensiunan, tokoh-tokoh agama;

- ditingkat kecamatan, kabupaten, dan propinsi ada aparat Depdikbud yang bisa diajak bekerja sama melaksanakan sistem ini;

- ditingkat pusat kita lihat adanya tenaga bidang studi yang cukup, produser-produser media, perancang dan pengembang sistem instruksional serta pengembang kurikulum;

- kerjasama dengan RRI telah terjalin baik, tinggal meningkatkan saja;

- sarana dan fasilitas produksi media audio visual di Balai Produksi media Radio Yogya dan Semarang serta di Pus Tekkom siap pakai; namun listrik belum masuk ke desa-desa secara merata;

- dana perintisan tersedia dari Dir Dikmenum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar